Rabu, 21 Juli 2010

::another stupid habbit that teach me somehing::

Teringat percakapan gw dulu jaman-jaman awal ABG sama sang ayah:

Si Gw : yah, aku bantu temenku nyeleseiin masalah,dia pusing banget mikirinnya kemarin2, padahal gampang banget yah aku nyelesaiinnya,

Si ayah : soalnya kamu ga punya kepentingan didalamnya.jadi kamu bisa netral dan jernih ngehadapinnya

Dan si gw gondok dengan tanggapan si Ayah, karena dulu ceritanya curhat gitu ke siayah berharap mendapat pujian seperti : ‘ya nak, kamu dewasa dan bijaksana sekali..” atau “ anak ayah udah gede..”
Si Ayah tidak peka sekali sama anaknya.
*maaf, waktu itu saya hanya remaja haus pengakuan dan eksistensi diri :p*

Percakapan singkat itu saya ingat karena memang kemudian terbukti dalam beberapa hal Ketika teman saya curhat tentang masalahnya, gw dengan gampangnya ngasih solusi ini-itu.Padahal gw sendiri kesulitan menyelesaikan masalah pribadi (cuma tidak mau cerita-cerita karena gengsi ketauan tidak bisa menyelesaikan masalah)
*sekali lagi maaf, itu jaman remaja, saat-saya-merasa-tahu-segalanya-padahal-tidak-tahu-apa-apa.dan hal paling penting didunia adalah masalah saya*

pengetahuan singkat dari sang ayah kemudian melahirkan sebuah kebiasaan, ketika saya sedang mumet dengan masalah-masalah, atau ngehang, atau mood sedang tidak bersahabat .

kebiasaan itu sebenarnya cuma “mengamati”.

Mengautis ditempat ramai, lalu duduk diam, mengamati sekeliling.
Penting untuk diingat : membekali diri dengan buku, atau, novel, atau laptop sebagai syarat biar terlihat “sedang melakukan sesuatu” dan ga terlalu bego-bego amat sendirian (seengaknya ga mati gaya kalo ada yang dikenal dan nanyain lagi apa).

Dan saya bisa menghabiskan berjam-jam dengan kegiatan tersebut: Mengamati orang-orang disekeliling, melihat ekspresi, mendengarkan percakapan, memperhatikan cara orang bicara, memperhatikan kegiatan yang dilakukan orang lain.

Sifat dasar manusia ketika menghadapi masalah, cenderung untuk tidak peduli dengan hal lain, berkutat dengan pikiran negatif sendiri, merasa paling sial, etc.
Padahal sebuah masalah hanya bisa diselesaikan dengan kemampuan mengendalikan pikiran sendiri.karena “masalah” itu ada karena kita berpikir itu “masalah”.

Karenanya salah satu cara yang saya pilih dalam menghadapi masalah adalah dengan “mengamati”. Keluar sebentar dari cangkang, lalu menjadi “bukan siapa-siapa”, melupakan bahwa saya punya kepentingan.


Mengamati bagaimana ekspresi orang2 lalu membayangkan apa yang ada dipikirannya. melihat bagaimana orang berinteraksi mencoba mengamati hubungan antara orang-orang itu,
Magaimana cara orang berkomunikasi dan merasakan atmosfir emosi mereka. Mendengarkan percakapan orang2. Kadang-kadang tersenyum sendiri mendengarkan percakapan tidak penting,(bagi orang itu mungkin penting).
Melihat tingkah konyol yang dilakukan seseorang tanpa disadarinya.

Ada 2 Hal yang paling membuat gw tertegun ketika mengamati :

Pertama adalah bagaimana sifat dasar negatif manusia timbul ketika merasa tidak ada yang mengawasi, atau terdesak keadaan dan kita cenderung melindungi kepentingan.

Saat mengamati, saya biasanya membayangkan saya yang berada diposisi yang saya amati. Hal ini mengajari untuk tidak berpikiran sempit dan melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang, juga jangan menjudge orang lain.

Terkait dengan menyelesaikan masalah tadi, ini menyadarkan saya bahwa ternyata masalah biasanya timbul karena benturan kepentingan (hal2 sosial yah maksudnya, walau bisa dianalogikan keengineering juga ^^).
Menyelesaikannya ya berkompromi dengan kepentingan itu, kepentingan kita, kepentingan orang lain. Jangan berkutat dengan hal pribadi dan menjadi begitu egois karena takut dirugikan kepentingan kita. Coba untuk memahami orang lain dari sudutpandangnya, dan bukan dengan sudut pandang kita.

Yang kedua bagaimana kebutuhan manusia akan eksistensi diri semakin besar sekarang, tapi yang kebanyakan kita lakukan ternyata cuma cenderung lebih kearah “pamer”. Itu manusiawi, tetapi sayang sekali jika ternyata yang kita lakukan tidak sehebat yang kita pamerkan dan kita malah cenderung menjadi sombong.

Saya pikir, mengurangi sedikit “kebutuhan akan eksistensi” itu tidak terlalu susah asal kita sadar akan hal itu.
eksistensi dan pengakuan yang “murni’, biasanya datang seiring dengan usaha dan dedikasi yang kita berikan terhadap apa yang kita geluti.

That’s all.

Autis ternyata memberi banyak hikmah juga.

Dan yah, plisss, tulisan itu adalah apa yang ideal dalam pikiran, yang gw lakuin dalam kehidupan nyata mungkin sering jauh dari ideal.
Tapi gw harap Tuhan tidak menghukum gw dengan menyita semangat untuk memperbaiki diri.

dan yang saya lakukan sekarang hanya mencoba untuk berbagi inspirasi saja

Bali 21 Juli 2010
::in very good mood ^^::