Selasa, 31 Desember 2013

Ga takut item!


Pantai Papuma, Jember
25 Desember 2013

Selamat pagi, 2014

Terbangun tadi pagi melihat HP tanggalnya menunjukkan 1 Januari 2014, dan yang terpikir pertama adalah "Oh iya, udah 2014 ya". Pengen bikin resolusi tahun baru, tapi kok kayaknya mainstream sekali ya. Jadi aja ga jadi. Hehe. Upload foto saja deh, untuk postingan pertama tahun ini.  Selamat pagi , 2014.



Photo taken at Papuma Beach, Jember. Des 25th, 2013

Manajemen Perjalanan, Penting!

Selang sehari setelah perjalanan ke Ranu Kumbolo bersama teman-teman kantor, saya diberi kabar bahwa ada seorang pendaki yang meninggal dalam perjalanan berangkat di pos watu rejeng, 6 km dari gerbang pendakian. Kabarnya kelelahan. Pendaki berusia 50 tahun-an.Semeru memang sedang tidak bersahabat ketika kami kesana, hujan sepanjang perjalanan. Di Ranu Kumbolo bahkan kami diterpa hujan angin. Untungnya teman-teman yang saya bawa kesana walaupun baru pertama kali melakukan kegiatan treking, tidak manja dan tidak banyak mengeluh.

Dihari yang sama kemudian saya mendapat kabar bahwa di gunung Gede juga ada yang meninggal, seorang pendaki yang masih muda dalam sebuah rombongan berjumlah besar. Meninggal di pos Kandang Badak (+/-6 jam perjalanan dari gerbang pendakian), indikasinya terserang Hipotermia.

Dua berita ini mengingatkan saya, pada kejadian bulan lalu,  operasi SAR dilakukan untuk mencari seorang pendaki, anak ITB 2008 yang hilang di Gunung Kendang daerah Pangalengan saat mendaki sendirian. Survivor akhirnya ditemukan dalam keadaan tak bernyawa setelah lebih dari 3 minggu proses pencarian.

Berita-berita ini membuat saya sedih. Saya masih ingat betul bagaimana rasanya kehilangan teman saat berkegiatan di alam bebas. (Semoga keluarga dan teman-teman yang ditinggalkan dikuatkan)
Juga menimbulkan pertanyaan, ada apa ya dengan tingginya frekuensi kecelakaan di alam bebas belakangan?

***

Semua orang yang memutuskan untuk berkegiatan di alam bebas (semestinya) tahu bahwa kegiatan ini berisiko tinggi.  Resiko terburuk yang kita hadapi adalah kehilangan nyawa. Ketahanan fisik dari pelaku adalah salah satu syarat, tapi tidak cukup itu saja, pelaku kegiatan harus memiliki kemampuan dasar untuk berkegiatan di alam,juga kemampuan memanajemen perjalanan termasuk didalamnya safety procedures. Atau setidaknya, didampingi oleh orang yang memiliki kemampuan tersebut.

Tapi trend travelling belakangan membuat aktivitas outdoor seperti hal "mudah". Dapat dilakukan oleh siapa saja kapan saja. Sementara tidak semua orang memiliki pengetahuan tentang safety procedure kegiatan di alam bebas, akibatnya resiko-resiko terabaikan.  Barulah saat keadaan darurat terjadi, panik, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Contoh sederhana, seperti pemilihan alas kaki. Dalam perjalanan ke Ranu Kumbolo kemarin saya menemukan banyak sekali yang mendaki dengan sendal jepit, beberapa yang saya temukan tidak menggunakan alas kaki, karena putus dalam perjalanan. Sementara trek pendakian licin sekali karena hujan sepanjang waktu. Resikonya : jatuh, terinjak duri, digigit binatang.Sia-sia sekali.

Contoh lain yang saya temukan, para pendaki yang hanya menggunakan daypack biasa dan tidak menggunakan rain cover.  Syukur-syukur jika masih membungkus pakaian-pakaian dengan kantong plastik, kalau tidak?  Mau menggunakan apa untuk malam hari?

(Belum lagi bercerita tentang para pendaki yang meninggalkan sampah di sepanjang jalur pendakian.Rrrr)

Saya sendiri juga masih sering lalai dengan persiapan perjalanan dan safety procedure,  baru ketika perjalanan dilakukan celah-celahnya kelihatan. Menghadapi kerepotan-kerepotan yang tidak perlu karena kurangnya persiapan bukan hal menyenangkan. Untungnya masih dilindungi, meskipun sempat beberapa kali mendapat kecelakaan ketika berkegiatan, hamdallah tidak ada yang berdampak parah

***

Lalu kalau sudah mempersiapkan perjalanan sedemikian rupa apa berarti perjalanan bebas resiko kecelakaan? Sayangnya tidak. Fungsi persiapan perjalanan yang baik hanyalah meminimalisir resiko tersebut. Membekali diri dengan pengetahuan, hingga ketika keadaan-keadaan terburuk terjadi kita tahu bagaimana harus menghadapinya.

Jika malas untuk  mencari ilmunya, setidaknya mintalah untuk ditemani oleh orang yang mengerti. Jangan nekat. Nyawa itu mahal.

Minggu, 29 Desember 2013

Setengah hitungan dari seratus purnama

Dan ternyata hampir setengah hitungan dari seratus purnama yang dulu pernah kita perbincangkan.

Setelah beberapa purnama yang timbul tenggelam tanpanya, puisiku, yang kupikir telah memudar, mewujudkan diri begitu saja dihadapanku. Dia bilang, dia merindu. Dan aku tergugu. dengan kenyataan bahwa kerinduannya memenuhi kosong disebuah ruang pikiranku, yang belakangan semakin memekat dan mulai mecekik. Kenyataan yang memaksaku untuk menapaktilasi perjalanan setengah hitungan dari seratus purnama yang dulu pernah kita perbicangkan. Seratus purnama yang kupikir hanya bentuk manifestasi angan-angan muda kita tentang romantisme yang tak lekang bilangan waktu,  tapi ternyata sudah terlewati hampir setengah hitungan. Dan saat ini kita masih berbincang tentangnya. Tentang purnama ke seratus.

Setengah hitungan dari seratus purnama, Rasa ini sudah melewati ribuan bentuk. Euforia sepasang muda yang dimabuk ketertarikan satu sama lain, mewujud perasaan sayang lalu hasrat dan Keinginan yang menguat. Keinginan menyayang.Keinginan melindungi. Kengininan memiliki. Keinginan mengenggam. Kemudian keingian-keinginan menjadi obsesi.  Kadang, jengah menguasai, karena rasa yang terlalu pekat tanpa kendali dan keterikatan yang tak pada tempatnya. Ada juga benci yang tak dimengerti, saat harapan-harapan tak terpenuhi.  Ada juga sebuah fase dimana keinginan yang ada adalah tak menginginkan apa-apa.

Beberapa purnama, kubiarkan pusiku memudar. Tapi ada sebuah rasa percaya yang kusimpan dalam diam,bahwa dia tak akan membiarkan dirinya memudar. Hanya, yang terbaik saat itu memanglah sebuah rentang, untuk belajar paham. bahwa ketika keinginan menguasai diri, kita lupa untuk mengasihi diri,

Bisakah kita mengasihi orang apa adanya tanpa mengasihi diri sendiri?

***

Dan kemudian dia muncul, lebih cepat dari yang kupikirkan.Dia bilang, dia merindu.Dan kemudian aku tergugu ketika rasanya, memenuhi rasaku. Sesaat aku mengelak. Kupikir, cukupkan, sudahi. Tapi hati terus-menerus membayangi. Kenapa terus-menerus mengingkari? Kenapa begitu takut akan hilang kendali?

Kemudian aku bertanya pada diriku.Sudahkah aku mengasihi diriku dengan layak?kupikir, sudah, aku sudah berusaha. Sesuatu menyentakku, mereka yang mengasihi diri sendiri dengan baik tak pernah takut hilang kendali. 

Lalu kuputuskan, sudah saatnya melepas berhenti menghindari dan lihat apa yang akan terjadi. Kuperhatikan lekat-lekat bagaimana rasa itu masuk kembali dan wujud yang dia tampakkan.

Dan lalu yang muncul pertama adalah sebuah sensasi  hangat. Hangat yang akrab. Sesaat kekhawatiran, tapi ternyata tidak, hangat ini tidak menyakitkan. Dan keheranan kecilku, ketika ternyata rasa itu ternyata mewujud kasih. Kasih yang sama dengan apa yang kuberikan pada diriku sendiri. Kasih yang lembut dan hangat. Menghangatkan. Kasih yang muncul dari sebuah perjalanan yang panjang dan perasaan saling menggenapi dengan pemahaman yang utuh. Mememenuhi kosong-kosong, tanpa menguasai dan tak menyakiti. Kasih yang lalu membuatku ingin menghangatkannya.  Berjalan disampingnya, tanpa keinginan apa-apa. 

Perasaan mengasihi semestinya tak menyakiti siapa-siapa.

Dan sepertinya rentang, berhasil mengajarkan kita tentang banyak hal.

***

Rasa penasaran membuatku menerka-nerka dimana kita berada saat seratus purnama itu datang. Akankah saat itu datang, kita ternyata lagi-lagi sedang membentang rentang,  karena kita ternyata masih saja belum mampu mengendalikan keadaan.

Atau mungkin ternyata kita sedang berada dibawah atap yang berbeda, dengan orang yang kita kasihi masing-masing. Mungkin saat itu kita masih saling mengasihi, dengan cara yang berbeda. Atau mungkin tidak. Kita bahkan lupa,pernah ada sebuah waktu yang kita tunggu-tunggu. Purnama keseratus. Kita hidup dalam kenyataan kita masing-masing.

Atau apakah kita sedang duduk dimeja yang sama,  berbincang tentang purnama keseratus yang akhirnya mewujud riang.

Dan iya, aku menerka-nerka.

Tapi kuputuskan, aku akan menikmati saja semua waktu yang berlangsung, dan semua rasa yang berkunjung.  Dan makna yang diberikan.

Setengah hitungan dari seratus purnama, rasa ini sudah melewati ribuan bentuk.
Dan, masih ada.

Jakarta, 29th Desember 2013
Been forever since my last poem,eh?

Rabu, 18 Desember 2013

Doa Sore

Mendapat email broadcast dari teman dikantor yang isinya layak dishare.

"“Jika dia menginginkan kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karuniaNya" (QS.Yunus :107)
 
Ketika aku meminta kekuatan
Allah memberiku kesulitan untuk membuatku kuat

Ketika aku meminta kebijaksanaan
Allah memberiku masalah untuk dipecahkan

Ketika aku meminta keberanian
Allah memberiku rintangan untuk kuatasi

Ketika aku meminta cinta
Allah memberiku seseorang yang bermasalah untuk kutolong

Ketika aku meminta kebaikan
Allah memberiku kesempatan

"Mungkin aku tak mendapatkan apa yang kuinginkan
Tapi aku mendapatkan apa yang kubutuhkan"

Senin, 02 Desember 2013

Balada Pesakitan

Ibuk bilang beliau tidak ingat apakah saya pernah terkena cacar atau tidak diwaktu kecil, tidak heran mengingat beliau membesarkan empat anak dengan jarak usia yang tidak terlalu jauh satu sama lain. Dan pertanyaan apakah saya pernah kena cacar atau tidak akhirnya terjawab dengan pernyataan dokter minggu kemarin, "mbak itu sih bintik-bintik cacar". Si dokter hanya memberi pernyataan singkat itu, dengan sebuah resep, dan satu surat sakti yang menyatakan saya harus beristirahat minimal 3 hari ini. Dan saya yang masih shock karena selama ini selalu berpikiran baik bahwa sepertinya saya pernah kena cacar waktu kecil dan sekarang sudah aman, juga tidak tahu harus bertanya apa.  Dari mbak-mbak kosan yang baik hatilah akhirnya saya banyak mendapatkan info, tentang apa yang harus saya hindari dan lakukan
Analisa teman, si saya tertular cacar dari seorang anak peserta acara liburan ceria kantor yang saat itu saya jadi panitianya. Yang membuat saya sangsi, bahwa acara itu sudah cukup lama berlalu, sekitar tiga minggu yang lalu. Tapi katanya, mungkin saja si virusnya sudah mengendap lama dan menunggu ketika sistem imum saya sedang drop. Penjelasan yang mendadak masuk akal, karena si saya yang memang rada memaksakan diri untuk tetap ke bandung wiken itu dalam keadaan capek, dan kemudian malah berenang saat matahari sudah cukup terik. Dan sukseslah si virus yang sudah mengendap lama dalam tubuh menguasai tubuh saya yang sedang drop sistem imunya.
Sakit selalu menjadi hal menakutkan bagi saya. Mencuri waktu dengan kejam. Seperti saat ini, saya nyaris tidak melakukan apa-apa sejak minggu kemarin. Karena itu, saya berusaha sebisa mungkin menjaga pola olahraga dan makan saya. Tapi sayangnya ada satu faktor penting yang  belum mampu saya jaga, menjaga pola pikiran. Kemampuan saya mengatur pekerjaan buruk sekali seminggu kemarin, akibatnya, saya stress sendiri.Dan saya sadar bahwa jika saya tidak bisa mengatasinya, stress ini akan berdampak ke fisik. Dan ternyata efeknya berdampak lebih cepat dari yang saya bayangkan,haha.
Mencoba mengambil sisi positifnya. jangan lagi-lagi acuh untuk menjaga kesehatan, kesehatan fisik, dan kesehatan pikiran. Karena sungguh deh, sakit itu tidak enak, dan mahal.