Saat turun assessment
data bencana banjir soreang kemarin, pada sebuah posko, saya bertemu dengan
serombongan mahasiswa yang datang membawa bantuan. Berapa properties mereka menarik
perhatian say : baju yang super bersih, mobil mewah, dan kamera canggih. Ketika mereka hendak pergi, salah seorang dari
mereka berfoto bersama salah satu perwakilan posko dengan pose yang sangat
familiar : memegang bantuan bersama, bersalaman, senyum lebar. Saya cuma
senyum-senyum melihat hal ini jauh, saya prediksikan mereka adalah “pejabat kampus”, mungkin
saja, suatu saat mereka akan benar-benar jadi pejabat negara ini.
~~~
Salah satu fenomena positif
mengesankan yang muncul ketika terjadi bencana alam adalah hal ini mengugah
rasa kemanusiaan masyarakat dengan sangat efektif. Orang-orang dan berbagai
lembaga berlomba-lomba berpartisipasi untuk membantu para korban, moril, materiil. Semua orang berusaha memberi
sumber daya sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Tapi setelah semua
sumber daya terkumpul, kenyataan berikutnya di lapangan, tidak semengesankan itu.
Ada banyak masalah-masalah yang muncul. Ada dua
permasalahan dominan yang menarik perhatian. Pertama, penyelundupan kepentingan lembaga atau
personil tertentu dibalik bantuan, bisa itu pejabat, csr perusahaan tertentu, atau
partai politik. Mudah sekali melihat tipikal yang seperti ini di lapangan : Bantuan
yang diberikan biasanya adalah bantuan materiil, jadi tidak perlu repot-repot
ngurusinnya. Biasanya
prosesi penyerahan bantuannya akan sangat resmi sekali, dan selalu ditutup dengan
sesi foto-foto penyerahan bantuan yang memakan waktu paling lama dari serangkaian acara.
Masalah kedua,
masyarakat pihak korban yang tiba-tiba bermental “meminta-minta”. Tentu
saja adalah hak korban untuk memperoleh
bantuan, tetapi pada beberapa kasus yang buruk : masyarakat jadi menunggu pihak "dermawan" datang dan membantu, tanpa mencoba proaktif untuk me-recovery diri mereka
sendiri. Permasalahan ini terkait dengan permasalahan pertama tadi, kecenderungan mental seperti ini muncul berbanding lurus dengan kemudahan dan bantuan yang diberikan.
Masalah-masalah minor seperti bantuan tidak tepat guna (indomie yang terlalu banyak, pakaian bekas yang berlebihan, dsb), distribusi bantuan yang tidak merata, penimbunan bantuan oleh pihak-pihak tertentu.
Masalah-masalah minor seperti bantuan tidak tepat guna (indomie yang terlalu banyak, pakaian bekas yang berlebihan, dsb), distribusi bantuan yang tidak merata, penimbunan bantuan oleh pihak-pihak tertentu.
Di FK KBPA BR (Forum
Komunikasi Keluarga Besar Pecinta Alam Bandung Raya- sebuah perkumpulan
organisasi-organisasi PA di Bandung-,- organisasi tempat saya bergabung
melakukan volunteer untuk beberapa bencana alam), permasalahan dominan kedua yang saya sebutkan diatas yang menjadi
dasar dalam perencanaan operasi penanggulangan bencana .
Konsepnya yaitu
penanggulangan bencana dengan pendampingan komunitas korban. Pada program ini, masyarakat
korban tidak diposisikan sebagai subjek dari program, tetapi objek, -pelaku-,
program itu sendiri. Masyarakat dikondisikan agar bertanggung jawab dan proaktif
untuk memperbaiki keadaannya sendiri, dengan demikian, mental “pasrah dan
menerima” dapat dihindarkan, sehinga ketika bantuan tidak lagi datang,
masyarakat sudah bisa berdiri sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dan kita, sebagai pelaksana program, bertugas mendorong dan membantu masyarakat
menuju kemandirian tersebut secepat mungkin. Jadi tidak sekedar memberi bantuan,
foto-foto, lalu pergi.
Konsep ini sudah sangat familiar tentunya saat ini, saya menemui banyak lembaga-lembaga yang bergerak dengan pendekatan yang sama.
Tetapi para tetua FK KBPA BR sudah merumuskan konsep ini dari lama sekali, saya tidak tahu kapan persisnya tetapi setau saya mereka sudah mengaplikasikan perancangan seperti ini semenjak penanggulangan bencana tsunami di Aceh. Konsep mereka semakin matang setiap kali program dijalankan. Pertama kali saya terlibat aksi volunteer pada gempa pangalengan 2009, saya dibuat terkagum dengan kematangan dan keterpaduan perencanaan mereka dalam membangun sebuah program penanggulangan bencana. Kenyataannya, kebanyakan para tetua ini bukan orang yang mengenyam/menyelesaikan bangku kuliah, mereka merancang perencanaan bukan berdasarkan teori dari buku, atau dosen, tetapi dari pengalaman dan pemahaman yang mereka dapatkan dari proses ke proses.
~~~
Kembali pada gerombolan mahasiswa yang saya temui kemarin, saya tentu
saja jahat sekali dengan mengejek para mahasiswa tersebut, walaupun secara
diam-diam. Keinginan dan usaha mereka untuk berpartisipasi saja sudah merupakan
hal yang harus di apresiasi dengan besar. Tapi, saya rasa pendidikan yang mereka miliki dan rangkaian pelatihan intelejensi membuat mereka memiliki kapasitas lebih dari sekedar memberi bantuan materiil. Saya berharap, mereka melakukan sesuatu yang lebih jauh daripada itu, sebesar harapan saya untuk diri saya sendiri agar mampu melakukan hal yang lebih bermakna dan bermanfaat luas daripada apa yang sanggup saya lakukan saat ini.
Teringat pada sepetan kalimat yang pernah diucapkan oleh salah seorang senior :
"Sesekali,
cobalah review, seberapa besar efek dari sebuah tindakan dan aksi yang
kita lakukan. Tinjau ulang kembali, perubahan sebesar apa yang bisa kita
berikan pada sekeliling. Kalau sebenarnya kita sanggup memberi 10 ,
kenapa terus-terusan memberi 5?"