Membaca berita-berita tentang ide penyatuan zona waktu Indonesia tiba-tiba saya ingat seseorang yang dulu pernah saya wawancara buat tugas kuliah jurnalistik, bapak Hakim L.Malasan, kepala observatorium Boscha. Dalam sesi wawancara tersebut si bapak sempat menyinggung sedikit permasalahan ini. Nah, katanya Isu penyatuan zona waktu ternyata sudah lama ada, dan masalahnya tidak segampang itu.Beliau sendiri golongan yang kontra dengan ide ini, karena tindakan ini sangat bertentangan dengan sains. Waktu itu beliau memberi beberapa point tentang kelemahan dan kelebihan jika hal ini dilaksanakan, tapi saya lupa, si catatan wawancara itu entah sudah dimana.hehe. :P .
Dibawah hasil tulisan saya waktu itu, hampir saja berakhir di loker dosen dan komputer saya.Semoga berguna ~ :)
P.S : Jenis tulisannya feature, jadi sedikit formal,semoga dimaafkannn
-----------------------------------------------------------
Menjadi kepala dari satu-satunya observatorium di Indonesia
tentu saja bukan merupakan hal yang gampang. Selain harus mampu meningkatkan
kualitas observatorium dan menjaga fungsinya sebagai pusat riset dan
pengembangan ilmu astronomi, sang kepala juga harus memastikan bahwa
observatorium mampu memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat,
memberikan informasi-informasi yang akurat untuk memberantas mitos-mitos langit
yang banyak beredar di masyarakat, juga mendidik talenta-talenta berbakat
dibidang Astronomi sebagai harapan pengembangan pengetahuan Astronomi
kedepannya. Tugas-tugas tersebut yang harus ditanggung oleh Dr.Hakim Lutfi
Malasan sebagai kepala Observatorium Boscha pada periode 2010-2011.
Kecintaannya terhadap bidang Astronomi membuatnya berusaha menuntaskan tanggung
jawabnya secara maksimal.
Perjalanan Hidup
Hakim L.Malasan dilahirkan
di Jakarta dalam sebuah keluarga dengan latar belakang pendidikan yang bagus. Ayahnya
berprofesi sebagai dokter sekaligus guru besar di FK UI sementara Ibunya
berprofesi sebagai diplomat.
Pada usia 2 tahun ,
beliau pindah ke Kanada mengikuti kedua orang tuanya. Di kota ini awal dia
dikenalkan kepada ilmu astronom. Sang ayah yang sangat menyenangi sains sering
mengajak dia ke sebuah observatorium di kota tempat tinggalnya di akhir pekan.
Kebiasaan ini kemudian berhenti diusia 7 tahun ketika mereka kembali ke
Indonesia.Ketertarikan beliau
terhadap bidang astronomi kembali muncul ketika berada di SMA. Guru mata
pelajaran astronominya adalah seorang guru yang lihai dalam menyajikan
pelajaran dan mampu menimbulkan rasa penasaran muridnya. Sang guru memberikan
pengetahuan astronomi lebih daripada apa yang ada di kurikulum pelajaran.
Berawal dari sini dia kembali menemukan ketertarikan yang besar terhadap bidang
astronomi dan kemudian memutuskan untuk mendalami astronomi lebih lanjut di
perguruan tinggi.
“Waktu itu satu-satunya jurusan Astronomi
hanya ada di ITB dan di tahun saya masuk, satu angkatan hanya terdiri dari 10
orang saja”. Dia sudah mulai aktif
di Boscha semenjak masih berstatus mahasiswa, pada tahun 1983 dia bekerja
sebagai asisten di Boscha. Pada tahun 1985 dia menamatkan pendidikan
astronominya di ITB lali melanjutkan pendidikan ke Jepang pada tahun 1987.
Ketika kembali ke Indonesia pada tahun 1993 beliau kembali aktif di Boscha.
Dalam rentang tahun 1995-1997 dia menjabat sebagai sekretaris jurusan
Astronomi. Kemudian pada tahun 1998 dia mendapatkan tawaran bekerja di
observatorium di Jepang. Pada tahun 2000 dia
kembali ke Indonesia dan terus aktif di Boscha sejak saat itu juga
menjadi tenaga pendidik di Institut Teknologi Bandung. Beliau diangkat menjadi
kepala Observatorium Boscha pada tanggal 21 Januari 2010.“Ada banyak faktor
yang menentukan keberhasilan seseorang dalam sebuah bidang. Diantaranya adalah
talenta dan lingkungan. Talenta yang tidak diasah dan berada di lingkungan yang
tidak tepat, akan mati perlahan. Saya merasa beruntung, karena diperkenalkan
ilmu astronomi oleh orang tua diwaktu saya kecil, dan kemudian bertemu dengan guru yang
memunculkan passion saya di bidang ini” , ungkapnya.
Visi, Misi, dan Pencapaian
Observatorium Boscha
memiliki misi yang hampir sama dengan tridarma perguruan tinggi yaitu :
melaksanakan penelitian, pendidikan, dan pelayanan masyarakat. Misi ini juga
lah yang dijadikan landasan oleh Dr. Hakim dalam memimpin Boscha.
Karena Boscha adalah
sebuah laboratorium riset, fokus utamanya adalah menjadikan Boscha sebagai
observatorium riset yang produktif menghasilkan publikasi nasional dan
international.Tetapi karena
Indonesia tidak memiliki observatorium lain, pada perkembangannya, boscha juga
merangkap kerja sebagai “teaching
laboratorium” atau laboratorium untuk pengajaran karena Boscha satu-satunya
pilihan bagi pelajar atau masyarakat yang ingin mendalami astronomi lebih
lanjut. Selain itu Boscha
juga harus melayani masyarakat dan negara tentang hal yang terkait astronomi.
Boscha menjadi rujukan utama pemerintah ketika mengambil keputusan-keputusan
yang terkait astronomi, seperti penentuan Hilal. Boscha juga menjadi pusat
rujuan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi-informasi terkait.
“Petugas Boscha harus
standby 24 jam sehari karena
masyarakat bisa membutuhkan informasi kapan saja. Saya pernah di telfon jam 2
malam oleh seorang masyarakat dari daerah trenggalek yang ngotot melihat UFO.
Atau ketika kasus “circle crops”
kemarin. Bukan hal yang penting tetapi sangat melelahkan.Tetapi bagaimanapun
Boscha harus bisa memberikan informasi dan klarifikasi yang akurat kepada
masyarakat karena akan berbahaya jika informasi yang berkembang semakin keliru” . Untuk itu selama
kepimimpinannya targetnya adalah menjaga kualitas Boscha agar sesuai dengan
standar observatorium riset international, produktif dalam berkarya, tetapi
juga dapat dijadikan tempat belajar dan pusat informasi masyarakat. Beliau
menyadari pentingnya membuat sebuah sistem yang tepat untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut. Visinya adalah “Melayani masyarakat, melayani ilmu
pengetahuan”. Saat ini Boscha
menerima kunjungan dari rombongan sekolah atau institusi pada hari selasa
hingga jumat pukul 09.00 hingga pukul 14.00. Masyarakat umum dapat berkunjung
ke Boscha pada hari sabtu pada jam yang sama.
Setelah jam 2 Boscha adalah waktu bagi para peneliti dan pelajar yang
akan menggunakan fasilitas boscha. Agar penelitian dan proses pembelajaran
dapat berlangsung bersamaan, dikembangkan sebuah sistem pembelajaran mandiri
sehingga mahasiswa-mahasiswa yang ingin belajar tidak harus didampingi oleh
petugas dalam menggunakan alat. Hari senin digunakan oleh pegawai untuk
melakukan perawatan instrumen. Hari minggu Boscha tidak menerima kunjungan
publik. Boscha juga menjadi
tempat pembinaan pelajar untuk olimpiade sains interantional bidang Astronomi.
Dedikasi kepada Astronomi
Rasa cinta Hakim
L.Malasan terhadap dunia Astronomi secara tidak langsung ditanamkan oleh
orangtuanya saat dia kecil. Rasa ini muncul kembali ketika dia SMA melalui
gurunya sehingga dia memutuskan untuk mendalami astronomi. Dr Hakim menyadari
bahwa dia beruntung memiliki orang tua yang melek pendidikan yang memberinya
talenta, lalu berada pada lingkungan yang membuat talentanya di bidang
Astronomi bisa berkembang. Beliau memanfaatkan
kesempatan tersebut sedemikian rupa, terus mengasah kemampuan dan mengembangkan
pengetahuannya hingga dia berada pada posisi sekarang. Sebagai bentuk lain
wujud komitmennya kepada pengembangan ilmu pengetahuan astronomi, beliau
mendedikasikan diri sebagai tenaga pengajar ilmu astronomi.
Menurutnya, salah
satu penyebab ilmu Astronomi di Indonesia tidak terlalu berkembang dan tidak
terlalu banyak nama ilmuwan-ilmuwan astronomi yang muncul dari Indonesia adalah
kesalahan dalam pengembangan sistem pengajaran juga lingkungan yang tidak
mendukung. Ilmu astronomi hanya
mendapatkan tempat yang sedikit dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, pun
hanya konsep-konsep dasar sederhana yang diajarkan kepada siswa. Padahal ilmu
astronomi sangat luas dan menarik, tidak banyak siswa yang mengetahui hal ini
dan ingin mendalami astronomi sejak lebih. Ketika ada siswa yang
kemudian tertarik dan ingin belajar lebih, biasanya akan terbentrok karena
tidak menemukan guru yang bisa mengajarnya karena di Indonesia tidak ada guru
sekolah menengah yang secara khusus dididik untuk mengajarkan astronomi.
Kemudia sang siswa juga akan terbentrok oleh fasilitas. Belajar astronomi
merupakan sebuah pembelajaran eksperimental yang membutuhkan alat-alat khusus.
Tidak banyak sekolah yang menyediakan fasilitas tersebut.
Sebagai seorang
praktisi pendidikan dan ilmuwan dibidang astronomi beliau berharap pemerintah
memberikan perhatian lebih kepada pendidikan astronomi di Indonesia. “Indonesia memiliki
banyak anak-anak yang bertalenta lebih di bidang astronomi. Sebagian diantara
mereka adalah anak-anak daerah yang belajar dari alam, kearifan budaya lokal,
dan pengalaman. Mereka melakukan observasi sendiri, menyerap pengetahuan dari alam bebas.
Kemampuan belajar mereka luar biasa. Betapa ruginya jika anak-anak bertalenta
ini tidak mendapatkan fasilitas dan kesempatan yang selayaknya untuk berkembang”
ujarnya Saat ini beliau dan
rekan-rekannya terus berusaha menemukan jalan agar pendidikan Astronomi di
Indonesia dapat terus berkembang dan agar anak-anak Indonesia yang memiliki
talenta dibidang astronomi mendapatkan fasilitas dan kesempatan untuk mengembangkan
kemampuan mereka.
“Satu-satunya Observatorium di Indonesia”
Boscha adalah sebuah
observatorium peninggalan Belanda dan masih menjadi satu-satunya observatorium
di Indonesia hingga saat ini. Fasilitas lain dalam pengembangan ilmu astronomi
hanyalah dua buah planetarium yang berlokasi di Jakarta dan Tarogong. Ini keprihatinan lain
Dr Hakim sebagai ilmuwan astronomi. Dia memberikan perbandingan dengan negara
Thailand, negara yang usianya lebih muda daripada Indonesia tetapi ilmu
astronominya berkembang lebih cepat .Beberapa faktor yang mempengaruhi cepatnya
perkembangan di negara tersebut adalah kesadaran masyarakat yang tinggi akan
pentingnya sains dan perhatian pemerintah yang besar dalam pengembangan ilmu
pengetahuan astronomi. Kurangnya perhatian
pemerintah ini sangat disayangkan, mengingat ilmu astronomi memiliki tingkat
kepentingan yang tinggi dalam keamanan kehidupan masyarakat sebuah negara. Selama ini pemerintah
cenderung hanya memperhatikan ancaman keamanan dari laut dan darat, padahal ada
juga ancaman keamanan dari luar angkasa, yang efeknya sangat besar. Salah satu contoh
ancaman yang diberikan Dr Hakim adalah sampah satelit. Saat ini diluar angkasa
pada ketinggian 8000-10.000 mil dari bumi terdapat 5000-an satelit buatan yang
beroperasi. Banyak diantaranya mulai mendekati usia batas operasi. Satelit yang
tidak terpakai ini nantinya akan menjadi sampah yang membutuhkan lokasi untuk
membuangnya. Indonesia dengan area laut yang luas merupakan sasaran empuk untuk
membuang satelit bekas tersebut yang bersifat radio aktif dan tentu saja sangat
berbahaya untuk kesehatan manusia. Selain ancaman itu, ada juga ancaman-ancaman tubrukan dengan
benda-benda luar angkasa.
Contoh lain
pentingnya keberadaan observatorium di Indonesia adalah seperti penentuan hilal
untuk awal bulan Syawal. Satu-satunya observatorium untuk pengamatan bulan
hanya ada di daerah Indonesia bagian barat sementara Indonesia memiliki 3
daerah waktu. Selain itu,
observatorium adalah kebutuhan mutlak dalam riset dan pengembangan ilmu
astronomi. “Padahal kebutuhan
masyarakat tinggi. Saudara-saudara dari daerah Timur atau tengah sana harus
bolak-balik ke Bandung untuk belajar astronomi. Bayangkan biaya yang harus
mereka keluarkan. Padahal untuk jangka panjang akan jauh lebih murah membangun
sebuah observaturium daripada biaya tersebut” paparnya.
Menurut beliau, sudah
ada beberapa wacana dan beberapa kali pembicaraan dengan pemerintah terkait
pendirian observatorium baru di Indonesia, tetapi belum terealisasi hingga sekarang.
Potensi Indonesia di Bidang Astronomi
Secara SDM, Indonesia
memiliki banyak anak-anak berpotensi di bidang Astronomi. Hal ini disadari
beliau sejak ditunjuk menjadi pembina siswa-siswa yang akan mengikuti
olimpiade-olimpiade astronomi international. Terbukti, hampir pada tiap ajang
olimpiade tim Astronomi Indonesia selalu membawa pulang medali. Banyak dari anak-anak
ini adalah anak-anak daerah yang tidak memiliki fasilitas, tetapi cerdas dan
berbakat sehingga mereka mencoba berbagai cara untuk mendapatkan ilmu yang
bahkan tidak didapatkan di sekolah. Melalui sebuah seleksi anak-anak ini
disaring, kemudian dibina dengan cara yang tepat dan diberi fasilitas untuk
belajar observatorium, kemampuan mereka berkembang dengan le lebih cepat lagi. Sayangnya, tidak semua
anak cerdas dan berbakat mendapatkan kesempatan dan fasilitas tersebut.Animo dan kesadaran
masyarakat terhadap ilmu Astronomi sendiri menurut beliau semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Saat ini kunjungan ke Boscha sudah mencapai 75.000
pengunjung /tahun, melebih target kapasitas kunjungan normal (65.000
pengunjung/tahun). Dan 85 persen diantaranya adalah pelajar, yang menunjukkan
peningkatan animo masyarakat untuk mempelajari ilmu astronomi.
Tantangan dan Harapan untuk Boscha
Dr Hakim menyadari
perubahan keadaan lingkungan sekitar Boscha menghadirkan banyak tantangan baru
bagi ilmuwan astronomi dalam pekerjaan risetnya.
Diantaranya adalah
pemukiman yang semakin padat menyebabkan polusi cahaya yang semakin tinggi
sehingga menyulitkan dalam pengamatan bintang. Selain itu, pemukiman disekitar
Boscha yang semakin padat hingga mencapai 6 kali daya tampung maksimal bukit
Boscha.
Harapannya pemerintah
memberikan perhatian lebih kepada Boscha mengingat pentingnya keberadaan
observatorium ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar