I'm not a naturally happy-go-lucky-optimist-person. Hanya saja jika dulu saya membiarkan emosi mengontrol sikap dan raut muka saya, sekarang saya lebih suka menyimpan kegalauan untuk diri saya sendiri. Dan saya semakin jarang mengejawantahkan (?) kesemrawutan pikiran saya dalam tulisan,
hingga tidak ada jejak-jejak hina dina pikiran saya yang terdokumentasikan. Sehingga ketika saya sedang normal dan baik-baik saja, saya merasa bahwa saya selalu baik-baik saja, sepanjang waktu. Dan jadilah saya terlihat seperti a super positif optimist person. Oh yeah sekali pokoknya.
Sejak kapan saya berhenti menulis
untuk menuangkan pergolakan (kegalauan) pikiran? Satu-dua tahun ini mungkin. Alasannya, saya mulai bosan mendefinisikan rasa dan pikiran yang bentuknya sangat-sangat abstrak. Mencari-cari kata untuk
mengurai apa yang saya pikir dan rasakan. Dan lagi, saya mulai menyadari
bahwa dalam keadaan seperti itu, tulisan saya sangat sangat sangat beraroma negatif, dan kenegatifan itu menular.Melalui sikap, atau sekedar tulisan. Dan kenegatifan yang sama, bisa terbangkitkan kembali ketika saya membaca ulang tulisan tersebut. Dan akan sangat buruk sekali, jika saya kembali kepada kebiasaan lama, membiarkan mood mengontrol sikap. Karena saya sudah bertekad sepenuh hati untuk menjadi wanita dewasa anggun bijaksana baik hati rajin menabung dan tidak sombong.
Karenanya saya mulai mencoba melakukan
hal-hal yang dilakukan banyak orang untuk memusnahkan gelombang- gelombang
negatif yang sedang menyelubungi otak: menonton film, belanja, mendengarkan
musik- musik menyenangkan, nongkrong dengan
teman-teman, curhat (oh yes). Dan ketika semua itu ternyata tidak cukup membantu, saya curhat sama Tuhan. Ketika iman sedang kendor, dan saya tidak berhasil
berbincang dengan Tuhan, saya mengurung
diri seharian di kamar, memberi kesempatan kepada diri saya bergalau-galau ria sepanjang hari sambil
berjanji dalam hati bahwa besok saya sudah akan baik-baik saja.It's work.
Tapi terkadang, saya merindukan
masa-masa itu. Ketika saya tenggelam dalam kontemplasi kontemplasi bodoh, lalu
bersikutat sepanjang hari berusaha mendeskripsikan apa yang saya pikirkan saya rasakan dalam tulisan-tulisan yang sekalipun konyol, saya menyenanginya. Ketika sesekali menemukan tulisan seseorang yang terasa sangat personal tentang pergolakan pikiran dan perasaan yang dikemas dan sangat baik, saya tersentuh.
Lalu saya diingatkan kembali, sebenarnya kontemplasi-kontemplasi bodoh itu bukannya berjam-jam menghabiskan waktu hanya untuk menghasilkan rangkaian paragraf absurd, dari sana saya banyak belajar mengenal diri sendiri. Dalam prosesnya, saya harus berusaha keras untuk jujur terhadap diri sendiri. Momen yang tidak terlalu sering terjadi. Dan itu, dalam dosis tertentu, baik untuk proses pendewasaan pikiran dan sikap.(apa deh fa). Jadi, saya mulai mencoba melakukan hal yang sama kembali, mengeksplorasi pikiran dan perasaan saya saat ini. Gagal. Rasanya tidak ada hal-hal krusial yang bisa menimbulkan krisis hebat di otak dan hati di kehidupan saya saat ini. Pergolakan-pergolakan yang muncul hanyalah pergolakan level cupu yang bisa diredakan hanya dengan tidur 10 jam.
Ada empat kemungkinan hal ini terjadi. Pertama, Tuhan sedang sangat sayang pada saya sehingga permasalahan-permasalahan hidup begitu dimudahkan. Kedua, saya mulai terperangkap dalam zona nyaman dimana saya hanya mengambil tanggung jawab-tanggung jawab dan keputusan yang tidak berisiko tinggi sehingga kehidupan saya baik-baik saja. Ketiga, saya mulai menjadi expert denial, menolak melihat permasalahan-permasalahan yang terhubung ke kehidupan saya dan memanipulasi pikiran agar saya selalu merasa bahwa saya baik-baik saja. Keempat, saya berhasil bertransformasi menjadi wanita dewasa anggun bijaksana baik hati rajin menabung dan tidak sombong yang tidak tergoyahkan dengan mudah oleh permasalahan-permasalah dalam hidup. Syukur jika yang terjadi adalah kemungkinan pertama. Untuk kemunginan keempat, saya cukup tahu diri untuk bilang itu tidak (belum) mungkin terjadi. Bagaimana kalo ternyata pilihannya adalah pilihan kedua, atau ketiga?euh. Kelaut aja neng, jadi dugong.
Lalu saya diingatkan kembali, sebenarnya kontemplasi-kontemplasi bodoh itu bukannya berjam-jam menghabiskan waktu hanya untuk menghasilkan rangkaian paragraf absurd, dari sana saya banyak belajar mengenal diri sendiri. Dalam prosesnya, saya harus berusaha keras untuk jujur terhadap diri sendiri. Momen yang tidak terlalu sering terjadi. Dan itu, dalam dosis tertentu, baik untuk proses pendewasaan pikiran dan sikap.(apa deh fa). Jadi, saya mulai mencoba melakukan hal yang sama kembali, mengeksplorasi pikiran dan perasaan saya saat ini. Gagal. Rasanya tidak ada hal-hal krusial yang bisa menimbulkan krisis hebat di otak dan hati di kehidupan saya saat ini. Pergolakan-pergolakan yang muncul hanyalah pergolakan level cupu yang bisa diredakan hanya dengan tidur 10 jam.
Ada empat kemungkinan hal ini terjadi. Pertama, Tuhan sedang sangat sayang pada saya sehingga permasalahan-permasalahan hidup begitu dimudahkan. Kedua, saya mulai terperangkap dalam zona nyaman dimana saya hanya mengambil tanggung jawab-tanggung jawab dan keputusan yang tidak berisiko tinggi sehingga kehidupan saya baik-baik saja. Ketiga, saya mulai menjadi expert denial, menolak melihat permasalahan-permasalahan yang terhubung ke kehidupan saya dan memanipulasi pikiran agar saya selalu merasa bahwa saya baik-baik saja. Keempat, saya berhasil bertransformasi menjadi wanita dewasa anggun bijaksana baik hati rajin menabung dan tidak sombong yang tidak tergoyahkan dengan mudah oleh permasalahan-permasalah dalam hidup. Syukur jika yang terjadi adalah kemungkinan pertama. Untuk kemunginan keempat, saya cukup tahu diri untuk bilang itu tidak (belum) mungkin terjadi. Bagaimana kalo ternyata pilihannya adalah pilihan kedua, atau ketiga?euh. Kelaut aja neng, jadi dugong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar