Kalau kita berdiri diperbatasan timur Sebatik, maka kita
dapat melihat kota Tawau Malaysia. Dari kejauahan dapat terlihat kota Tawau
yang ramai dengan gedung-gedung tingginya. Perbandingan yang miris dengan jika
dibandingkan dengan keadaan dipulau Sebatik dengan fasilitas yang masih
pas-pasan.
Otomatis otak si saya mengaitkan keadaan ini dengan isu
mengenai perbatasan pulau sebatik yang
memanas beberapa tahun belakangan.
Di Sebatik, Hampir semua hasil bumi penduduk dijual kedaerah
tawau dalam bentuk mentah. Harga jual
barang-barang mentah ini lebih tinggi dan biaya operasionalnya pun lebih rendah
jika harus dijual ke pedagang Indonesia, karenanya penduduk Sebatik lebih
senang menjual ke daerah Tawau. Apalagi karena didaerah perbatasan aturan
perdagangan yang berlaku yaitu hukum perdagangan perbatasan, jadi mereka tidak
terlalu ribet dengan birokrasi eksport-import. Bahan mentah yang dijualbelikan
dikepulauan Sebatik sendiri biasanya adalah barang-barang yang ditolak di kota
Tawau karena kualitas rendah.
Untuk belanja kebutuhan sehari-haripun, ternyata masyarakat
lebih senang berbelanja ke kota tawau. Dengan membayar hanya 100k untuk
melintasi perbatasan, mereka dapat berhari-hari di Tawau dan berbelanja
kebutuhan dengan harga yang lebih murah jika mereka belanja ke Tarakan atau
Nunukan misalnya.Dan jarak transportasi juga lebih dekat.
Beberapa fakta lain seperti, berlakunya mata uang Ringgit di
pulau ini, ato tenaga kerja dari sebatik yang digunakan di Tawau tanpa aturan
ketengakerjaan antarnegara, dari satu sudut pandang terlihat menganggu
integritas bangsa.
Tapi dari sudut pandang berbeda, dari beberapa golongan
penduduk,
isu perbatasan ini dianggap terlalu dilebih-lebihkan oleh media, pemerintah dipusat
ribut sendiri sementara keadaan dipulau mereka menurut mereka masih kondusif. Keadaan ini dianggap bentuk simbiosis mutualisme.
Keadaan yang terasa aneh juga ketika saya memasuki kota
Nunukan. Ternyata pembangunan di pulau Nunukan sudah jauh lebih maju daripada
di pulau Sebatik, walaupun tidak semegah kota Tawau, jalan-jalannya lebar dan bagus, dan
gedung-gedung pemerintahannya pun cukup besar. Pusat kotanya ramai, banyak
penginapan-penginapan mewah di sini. Perbandingan yang tidak adil dengan keadaan
di pulau Sebatik. Sama-sama pulau perbatasan tetapi dengan keadaan yang jauh bserbeda.
Padahal antara Nunukan dan pulau Sebatik hanya berjarak 15 menit penyebrangan.
Dengan perbandingan-perbandingan seperti ini, cara pandang
beberapa golongan warga tadi jadi terlihat logis, dengan perhatian dan
fasilitas minim yang diberikan dari pemerintah kabupaten Nunukan ataupun
pemerintah pusat, ya wajar-wajar saja warga lebih memihak pada keadaan yang
mereka anggap lebih menguntungkan bagi mereka saat ini.
Saya kemudian malu karena saya tidak aware dengan
permsasalahan ini hingga saya berada disini. Saya tidak benar-benar mengerti
negara saya sendiri. Pelajaran terbesar yang saya dapat dari perjalanan ke
timur selatan ini, bahwa kita harus terus-terusan memperluas wawasan kita
tentang Indonesia. Indonesia itu kaya sekali, benar-benar kaya, tapi jika kita
bahkan tidak benar-benar tau apa saja yang sebenarnya kita miliki, lalu
bagaimana kita akan menjaganya? Jadi jangan sekedar mengutuk-ngutuk negara
tetangga maling, tanpa menyadari bahwa kita tidak benar-benar menjaga apa yang
kita miliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar