Selasa, 13 Maret 2012

Hakim L. Malasan -Kepala Observatorium Boscha (Biografi singkat)

Membaca berita-berita tentang ide penyatuan zona waktu Indonesia tiba-tiba saya ingat seseorang yang dulu pernah saya wawancara buat tugas kuliah jurnalistik, bapak Hakim L.Malasan, kepala observatorium Boscha. Dalam sesi wawancara tersebut si bapak sempat menyinggung sedikit permasalahan ini. Nah, katanya Isu penyatuan zona waktu ternyata sudah lama ada, dan masalahnya tidak segampang itu.Beliau sendiri golongan yang kontra dengan ide ini, karena tindakan ini sangat bertentangan dengan sains. Waktu itu beliau memberi beberapa point tentang kelemahan dan kelebihan jika hal ini dilaksanakan, tapi saya lupa,  si catatan wawancara itu entah sudah dimana.hehe. :P . 
Dibawah hasil tulisan saya waktu itu, hampir saja berakhir di loker dosen dan komputer saya.Semoga berguna ~ :) 
P.S : Jenis tulisannya feature, jadi sedikit formal,semoga dimaafkannn
 -----------------------------------------------------------
Menjadi kepala dari satu-satunya observatorium di Indonesia tentu saja bukan merupakan hal yang gampang. Selain harus mampu meningkatkan kualitas observatorium dan menjaga fungsinya sebagai pusat riset dan pengembangan ilmu astronomi, sang kepala juga harus memastikan bahwa observatorium mampu memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat, memberikan informasi-informasi yang akurat untuk memberantas mitos-mitos langit yang banyak beredar di masyarakat, juga mendidik talenta-talenta berbakat dibidang Astronomi sebagai harapan pengembangan pengetahuan Astronomi kedepannya. Tugas-tugas tersebut yang harus ditanggung oleh Dr.Hakim Lutfi Malasan sebagai kepala Observatorium Boscha pada periode 2010-2011. Kecintaannya terhadap bidang Astronomi membuatnya berusaha menuntaskan tanggung jawabnya secara maksimal.


Perjalanan Hidup
Hakim L.Malasan dilahirkan di Jakarta dalam sebuah keluarga dengan latar belakang pendidikan yang bagus. Ayahnya berprofesi sebagai dokter sekaligus guru besar di FK UI sementara Ibunya berprofesi sebagai diplomat.

Pada usia 2 tahun , beliau pindah ke Kanada mengikuti kedua orang tuanya. Di kota ini awal dia dikenalkan kepada ilmu astronom. Sang ayah yang sangat menyenangi sains sering mengajak dia ke sebuah observatorium di kota tempat tinggalnya di akhir pekan. Kebiasaan ini kemudian berhenti diusia 7 tahun ketika mereka kembali ke Indonesia.Ketertarikan beliau terhadap bidang astronomi kembali muncul ketika berada di SMA. Guru mata pelajaran astronominya adalah seorang guru yang lihai dalam menyajikan pelajaran dan mampu menimbulkan rasa penasaran muridnya. Sang guru memberikan pengetahuan astronomi lebih daripada apa yang ada di kurikulum pelajaran. Berawal dari sini dia kembali menemukan ketertarikan yang besar terhadap bidang astronomi dan kemudian memutuskan untuk mendalami astronomi lebih lanjut di perguruan tinggi.
  
“Waktu itu satu-satunya jurusan Astronomi hanya ada di ITB dan di tahun saya masuk, satu angkatan hanya terdiri dari 10 orang saja”. Dia sudah mulai aktif di Boscha semenjak masih berstatus mahasiswa, pada tahun 1983 dia bekerja sebagai asisten di Boscha. Pada tahun 1985 dia menamatkan pendidikan astronominya di ITB lali melanjutkan pendidikan ke Jepang pada tahun 1987. Ketika kembali ke Indonesia pada tahun 1993 beliau kembali aktif di Boscha. Dalam rentang tahun 1995-1997 dia menjabat sebagai sekretaris jurusan Astronomi. Kemudian pada tahun 1998 dia mendapatkan tawaran bekerja di observatorium di Jepang. Pada tahun 2000 dia  kembali ke Indonesia dan terus aktif di Boscha sejak saat itu juga menjadi tenaga pendidik di Institut Teknologi Bandung. Beliau diangkat menjadi kepala Observatorium Boscha pada tanggal 21 Januari 2010.“Ada banyak faktor yang menentukan keberhasilan seseorang dalam sebuah bidang. Diantaranya adalah talenta dan lingkungan. Talenta yang tidak diasah dan berada di lingkungan yang tidak tepat, akan mati perlahan. Saya merasa beruntung, karena diperkenalkan ilmu astronomi oleh orang tua diwaktu saya kecil,  dan kemudian bertemu dengan guru yang memunculkan passion saya di bidang ini” , ungkapnya.

Visi, Misi, dan Pencapaian
Observatorium Boscha memiliki misi yang hampir sama dengan tridarma perguruan tinggi yaitu : melaksanakan penelitian, pendidikan, dan pelayanan masyarakat. Misi ini juga lah yang dijadikan landasan oleh Dr. Hakim dalam memimpin Boscha.

Karena Boscha adalah sebuah laboratorium riset, fokus utamanya adalah menjadikan Boscha sebagai observatorium riset yang produktif menghasilkan publikasi nasional dan international.Tetapi karena Indonesia tidak memiliki observatorium lain, pada perkembangannya, boscha juga merangkap kerja sebagai “teaching laboratorium” atau laboratorium untuk pengajaran karena Boscha satu-satunya pilihan bagi pelajar atau masyarakat yang ingin mendalami astronomi lebih lanjut. Selain itu Boscha juga harus melayani masyarakat dan negara tentang hal yang terkait astronomi. Boscha menjadi rujukan utama pemerintah ketika mengambil keputusan-keputusan yang terkait astronomi, seperti penentuan Hilal. Boscha juga menjadi pusat rujuan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi-informasi terkait.

“Petugas Boscha harus standby 24 jam sehari karena masyarakat bisa membutuhkan informasi kapan saja. Saya pernah di telfon jam 2 malam oleh seorang masyarakat dari daerah trenggalek yang ngotot melihat UFO. Atau ketika kasus “circle crops” kemarin. Bukan hal yang penting tetapi sangat melelahkan.Tetapi bagaimanapun Boscha harus bisa memberikan informasi dan klarifikasi yang akurat kepada masyarakat karena akan berbahaya jika informasi yang berkembang semakin keliru” . Untuk itu selama kepimimpinannya targetnya adalah menjaga kualitas Boscha agar sesuai dengan standar observatorium riset international, produktif dalam berkarya, tetapi juga dapat dijadikan tempat belajar dan pusat informasi masyarakat. Beliau menyadari pentingnya membuat sebuah sistem yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Visinya adalah “Melayani masyarakat, melayani ilmu pengetahuan”. Saat ini Boscha menerima kunjungan dari rombongan sekolah atau institusi pada hari selasa hingga jumat pukul 09.00 hingga pukul 14.00. Masyarakat umum dapat berkunjung ke Boscha pada hari sabtu pada jam yang sama.  Setelah jam 2 Boscha adalah waktu bagi para peneliti dan pelajar yang akan menggunakan fasilitas boscha. Agar penelitian dan proses pembelajaran dapat berlangsung bersamaan, dikembangkan sebuah sistem pembelajaran mandiri sehingga mahasiswa-mahasiswa yang ingin belajar tidak harus didampingi oleh petugas dalam menggunakan alat. Hari senin digunakan oleh pegawai untuk melakukan perawatan instrumen. Hari minggu Boscha tidak menerima kunjungan publik. Boscha juga menjadi tempat pembinaan pelajar untuk olimpiade sains interantional bidang Astronomi.

Dedikasi kepada Astronomi
Rasa cinta Hakim L.Malasan terhadap dunia Astronomi secara tidak langsung ditanamkan oleh orangtuanya saat dia kecil. Rasa ini muncul kembali ketika dia SMA melalui gurunya sehingga dia memutuskan untuk mendalami astronomi. Dr Hakim menyadari bahwa dia beruntung memiliki orang tua yang melek pendidikan yang memberinya talenta, lalu berada pada lingkungan yang membuat talentanya di bidang Astronomi bisa berkembang. Beliau memanfaatkan kesempatan tersebut sedemikian rupa, terus mengasah kemampuan dan mengembangkan pengetahuannya hingga dia berada pada posisi sekarang. Sebagai bentuk lain wujud komitmennya kepada pengembangan ilmu pengetahuan astronomi, beliau mendedikasikan diri sebagai tenaga pengajar ilmu astronomi.

Menurutnya, salah satu penyebab ilmu Astronomi di Indonesia tidak terlalu berkembang dan tidak terlalu banyak nama ilmuwan-ilmuwan astronomi yang muncul dari Indonesia adalah kesalahan dalam pengembangan sistem pengajaran juga lingkungan yang tidak mendukung. Ilmu astronomi hanya mendapatkan tempat yang sedikit dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, pun hanya konsep-konsep dasar sederhana yang diajarkan kepada siswa. Padahal ilmu astronomi sangat luas dan menarik, tidak banyak siswa yang mengetahui hal ini dan ingin mendalami astronomi sejak lebih. Ketika ada siswa yang kemudian tertarik dan ingin belajar lebih, biasanya akan terbentrok karena tidak menemukan guru yang bisa mengajarnya karena di Indonesia tidak ada guru sekolah menengah yang secara khusus dididik untuk mengajarkan astronomi. Kemudia sang siswa juga akan terbentrok oleh fasilitas. Belajar astronomi merupakan sebuah pembelajaran eksperimental yang membutuhkan alat-alat khusus. Tidak banyak sekolah yang menyediakan fasilitas tersebut.

Sebagai seorang praktisi pendidikan dan ilmuwan dibidang astronomi beliau berharap pemerintah memberikan perhatian lebih kepada pendidikan astronomi di Indonesia. “Indonesia memiliki banyak anak-anak yang bertalenta lebih di bidang astronomi. Sebagian diantara mereka adalah anak-anak daerah yang belajar dari alam, kearifan budaya lokal, dan pengalaman. Mereka melakukan observasi sendiri,  menyerap pengetahuan dari alam bebas. Kemampuan belajar mereka luar biasa. Betapa ruginya jika anak-anak bertalenta ini tidak mendapatkan fasilitas dan kesempatan yang selayaknya untuk berkembang” ujarnya Saat ini beliau dan rekan-rekannya terus berusaha menemukan jalan agar pendidikan Astronomi di Indonesia dapat terus berkembang dan agar anak-anak Indonesia yang memiliki talenta dibidang astronomi mendapatkan fasilitas dan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan mereka.

“Satu-satunya Observatorium di Indonesia”
Boscha adalah sebuah observatorium peninggalan Belanda dan masih menjadi satu-satunya observatorium di Indonesia hingga saat ini. Fasilitas lain dalam pengembangan ilmu astronomi hanyalah dua buah planetarium yang berlokasi di Jakarta dan Tarogong. Ini keprihatinan lain Dr Hakim sebagai ilmuwan astronomi. Dia memberikan perbandingan dengan negara Thailand, negara yang usianya lebih muda daripada Indonesia tetapi ilmu astronominya berkembang lebih cepat .Beberapa faktor yang mempengaruhi cepatnya perkembangan di negara tersebut adalah kesadaran masyarakat yang tinggi akan pentingnya sains dan perhatian pemerintah yang besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan astronomi. Kurangnya perhatian pemerintah ini sangat disayangkan, mengingat ilmu astronomi memiliki tingkat kepentingan yang tinggi dalam keamanan kehidupan masyarakat sebuah negara. Selama ini pemerintah cenderung hanya memperhatikan ancaman keamanan dari laut dan darat, padahal ada juga ancaman keamanan dari luar angkasa, yang efeknya sangat besar. Salah satu contoh ancaman yang diberikan Dr Hakim adalah sampah satelit. Saat ini diluar angkasa pada ketinggian 8000-10.000 mil dari bumi terdapat 5000-an satelit buatan yang beroperasi. Banyak diantaranya mulai mendekati usia batas operasi. Satelit yang tidak terpakai ini nantinya akan menjadi sampah yang membutuhkan lokasi untuk membuangnya. Indonesia dengan area laut yang luas merupakan sasaran empuk untuk membuang satelit bekas tersebut yang bersifat radio aktif dan tentu saja sangat berbahaya untuk kesehatan manusia. Selain ancaman itu,  ada juga ancaman-ancaman tubrukan dengan benda-benda luar angkasa.

Contoh lain pentingnya keberadaan observatorium di Indonesia adalah seperti penentuan hilal untuk awal bulan Syawal. Satu-satunya observatorium untuk pengamatan bulan hanya ada di daerah Indonesia bagian barat sementara Indonesia memiliki 3 daerah waktu. Selain itu, observatorium adalah kebutuhan mutlak dalam riset dan pengembangan ilmu astronomi. “Padahal kebutuhan masyarakat tinggi. Saudara-saudara dari daerah Timur atau tengah sana harus bolak-balik ke Bandung untuk belajar astronomi. Bayangkan biaya yang harus mereka keluarkan. Padahal untuk jangka panjang akan jauh lebih murah membangun sebuah observaturium daripada biaya tersebut” paparnya.

Menurut beliau, sudah ada beberapa wacana dan beberapa kali pembicaraan dengan pemerintah terkait pendirian observatorium baru di Indonesia, tetapi belum terealisasi hingga sekarang.

Potensi Indonesia di Bidang Astronomi
Secara SDM, Indonesia memiliki banyak anak-anak berpotensi di bidang Astronomi. Hal ini disadari beliau sejak ditunjuk menjadi pembina siswa-siswa yang akan mengikuti olimpiade-olimpiade astronomi international. Terbukti, hampir pada tiap ajang olimpiade tim Astronomi Indonesia selalu membawa pulang medali. Banyak dari anak-anak ini adalah anak-anak daerah yang tidak memiliki fasilitas, tetapi cerdas dan berbakat sehingga mereka mencoba berbagai cara untuk mendapatkan ilmu yang bahkan tidak didapatkan di sekolah. Melalui sebuah seleksi anak-anak ini disaring, kemudian dibina dengan cara yang tepat dan diberi fasilitas untuk belajar observatorium, kemampuan mereka berkembang dengan  le lebih cepat lagi. Sayangnya, tidak semua anak cerdas dan berbakat mendapatkan kesempatan dan fasilitas tersebut.Animo dan kesadaran masyarakat terhadap ilmu Astronomi sendiri menurut beliau semakin meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini kunjungan ke Boscha sudah mencapai 75.000 pengunjung /tahun, melebih target kapasitas kunjungan normal (65.000 pengunjung/tahun). Dan 85 persen diantaranya adalah pelajar, yang menunjukkan peningkatan animo masyarakat untuk mempelajari ilmu astronomi.
Tantangan dan Harapan untuk Boscha
Dr Hakim menyadari perubahan keadaan lingkungan sekitar Boscha menghadirkan banyak tantangan baru bagi ilmuwan astronomi dalam pekerjaan risetnya.
Diantaranya adalah pemukiman yang semakin padat menyebabkan polusi cahaya yang semakin tinggi sehingga menyulitkan dalam pengamatan bintang. Selain itu, pemukiman disekitar Boscha yang semakin padat hingga mencapai 6 kali daya tampung maksimal bukit Boscha.
Harapannya pemerintah memberikan perhatian lebih kepada Boscha mengingat pentingnya keberadaan observatorium ini.









Tidak ada komentar: