Selasa, 27 November 2012

Digging Deeper

Saat turun assessment data bencana banjir soreang kemarin, pada sebuah posko, saya bertemu dengan serombongan mahasiswa yang datang membawa bantuan. Berapa properties mereka menarik perhatian say : baju yang super bersih, mobil mewah, dan kamera canggih. Ketika mereka hendak pergi, salah seorang dari mereka berfoto bersama salah satu perwakilan posko dengan pose yang sangat familiar : memegang bantuan bersama, bersalaman, senyum lebar. Saya cuma senyum-senyum melihat hal ini jauh, saya prediksikan mereka adalah “pejabat kampus”, mungkin saja, suatu saat mereka akan benar-benar jadi pejabat negara ini.

~~~

Salah satu fenomena positif mengesankan yang muncul ketika terjadi bencana alam adalah hal ini mengugah rasa kemanusiaan masyarakat dengan sangat efektif. Orang-orang dan berbagai lembaga berlomba-lomba berpartisipasi untuk membantu para korban, moril, materiil.  Semua orang berusaha memberi sumber daya sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

Tapi setelah semua sumber daya terkumpul, kenyataan berikutnya di lapangan, tidak semengesankan itu. Ada banyak masalah-masalah yang muncul. Ada dua permasalahan dominan yang menarik perhatian. Pertama,  penyelundupan kepentingan lembaga atau personil tertentu dibalik bantuan, bisa itu pejabat, csr perusahaan tertentu, atau partai politik. Mudah sekali melihat tipikal yang seperti ini di lapangan : Bantuan yang diberikan biasanya adalah bantuan materiil, jadi tidak perlu repot-repot ngurusinnya. Biasanya prosesi penyerahan bantuannya akan sangat resmi sekali, dan selalu ditutup dengan sesi foto-foto penyerahan bantuan yang memakan waktu paling lama dari serangkaian acara. 

Masalah kedua, masyarakat pihak korban yang tiba-tiba bermental “meminta-minta”. Tentu saja  adalah hak korban untuk memperoleh bantuan,  tetapi pada beberapa kasus  yang buruk : masyarakat jadi menunggu pihak "dermawan" datang dan membantu, tanpa mencoba proaktif untuk me-recovery diri mereka sendiri. Permasalahan ini terkait dengan permasalahan pertama tadi, kecenderungan mental seperti ini muncul berbanding lurus dengan kemudahan dan bantuan yang diberikan.

 Masalah-masalah minor seperti  bantuan tidak tepat guna (indomie yang terlalu banyak, pakaian bekas yang berlebihan, dsb), distribusi bantuan yang tidak merata, penimbunan bantuan oleh pihak-pihak tertentu.

Di FK KBPA BR (Forum Komunikasi Keluarga Besar Pecinta Alam Bandung Raya- sebuah perkumpulan organisasi-organisasi PA di Bandung-,- organisasi tempat saya bergabung melakukan volunteer untuk beberapa bencana alam), permasalahan dominan kedua yang saya sebutkan diatas yang menjadi dasar dalam perencanaan operasi penanggulangan bencana .

Konsepnya yaitu penanggulangan bencana dengan pendampingan komunitas korban.  Pada program ini, masyarakat korban tidak diposisikan sebagai subjek dari program, tetapi objek, -pelaku-, program itu sendiri. Masyarakat dikondisikan agar bertanggung jawab dan proaktif untuk memperbaiki keadaannya sendiri, dengan demikian, mental “pasrah dan menerima” dapat dihindarkan, sehinga ketika bantuan tidak lagi datang, masyarakat sudah bisa berdiri sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dan kita, sebagai pelaksana program, bertugas mendorong dan membantu masyarakat menuju kemandirian tersebut secepat mungkin. Jadi tidak sekedar memberi bantuan, foto-foto, lalu pergi. 

Konsep ini sudah sangat familiar tentunya saat ini, saya menemui banyak lembaga-lembaga yang bergerak dengan pendekatan yang sama. 

Tetapi para tetua FK KBPA BR sudah merumuskan konsep ini dari lama sekali, saya tidak tahu kapan persisnya tetapi setau saya mereka sudah mengaplikasikan perancangan seperti ini semenjak penanggulangan bencana tsunami di Aceh. Konsep mereka semakin matang setiap kali program dijalankan. Pertama kali saya terlibat aksi volunteer pada gempa pangalengan 2009, saya dibuat terkagum dengan kematangan dan keterpaduan perencanaan mereka dalam membangun sebuah program penanggulangan bencana. Kenyataannya,  kebanyakan para tetua ini bukan orang yang mengenyam/menyelesaikan bangku kuliah, mereka merancang perencanaan bukan berdasarkan teori dari buku, atau dosen, tetapi dari pengalaman dan pemahaman yang mereka dapatkan dari proses ke proses.

~~~

Kembali pada gerombolan mahasiswa yang saya temui kemarin, saya tentu saja jahat sekali dengan mengejek para mahasiswa tersebut, walaupun secara diam-diam. Keinginan dan usaha mereka untuk berpartisipasi saja sudah merupakan hal yang harus di apresiasi dengan besar. Tapi, saya rasa pendidikan yang mereka miliki dan rangkaian pelatihan intelejensi membuat mereka memiliki kapasitas lebih dari sekedar memberi bantuan materiil.  Saya berharap, mereka melakukan sesuatu yang lebih jauh daripada itu, sebesar harapan saya untuk diri saya sendiri agar mampu melakukan hal yang lebih bermakna dan bermanfaat luas daripada apa yang sanggup saya lakukan saat ini.

Teringat pada sepetan kalimat yang pernah diucapkan oleh salah seorang senior :

"Sesekali, cobalah review, seberapa besar efek dari sebuah tindakan dan aksi yang kita lakukan. Tinjau ulang kembali, perubahan sebesar apa yang bisa kita berikan pada sekeliling. Kalau sebenarnya kita sanggup memberi 10 , kenapa terus-terusan memberi 5?"

Yes.Try looking at the bigger system.Dimanakah kita berdiri di sana?Sekedar penghias,yang keberadaannya tidak mempengaruhi berjalan atau tidaknya sistem,  atau komponen utama pengerak sistem tersebut?Dan kita memiliki potensi yang jauh lebih besar dari yang kita bayangkan, yang perlu kita lakukan, hanyalah menggali lebih dalam.

Kamu.Apa yang kamu cari?
Kalo sudah tahu, cerita ya.

~m.u

Rabu, 21 November 2012

Into the Wild


Lebay sih judulnya. Tapi debit air cimanuk hilir memang lebih besar daripada biasanya akhir minggu kemarin, jadi adrenalinnya kecampur-campur antara seru dan tegang. Setiap akan masuk jeram saya mengucap bismillah lalu ditutup dengan alhamdulillah sesudahnya.Berkali-kali.

Peserta pengarungannya sedikit, karenanya dapat porsi belajar yang lebih banyak, dan tentu saja otot yang lebih pegal.Si saya dapat banyak sekali ilmu baru dari wa' Yana tentang membaca arus.
Dan kawan, istilah semakin belajar semakin merasa bodoh itu benar adanya. Tidak dilebih-lebihkan.

Selasa, 20 November 2012

Segaris harapan, lalu ilusi

Mengertikah kamu, kenapa beberapa orang menyuapkan bergram-gram nikotin dan kafein kedalam pembuluh darahnya?Agar pikiran mereka tetap terjaga, sehingga hati tak sempat mengkhianatinya. Karena beberapa orang benar-benar ingin hidup di kenyataan, beberapa orang bersikeras hidup dalam kenyataan.Beberapa orang tak cukup kuat untuk percaya pada harapan yang dihidupkan hati, karenanya mereka serahkan semuanya pada pikiran yang berpegangan pada kenyataan.Tetapi mereka tak cukup kuat melakukannya sendirian, lalu mereka menyuapkan toksin pada tubuh mereka.

Ah, kenapa kita begitu kejam pada diri kita sendiri?

Bukannya hati adalah juga bagian dari kesatuan diri yang tak seharusnya di beri jarak dari keseharian? 

Harapan toh tidak menyakiti, ilusi yang mengkhianatimu.
 

Minggu, 18 November 2012

Ojek Payung


The photo taken at Kawah Putih, Ciwidey, South Bandung
 Some villagers use the rain season opening temporary umbrella's rent enterprise.
"Ojek Payung", we name it.
They unfold it in the morning to dry it up and to attract visitors.

Kamis, 15 November 2012

Binatang Peliharaan

Saya pernah memelihara berbagai jenis binatang, dulu, waktu saya kecil. Macam-macam jenisnya : kucing, anjing, ayam, ikan, burung. Diantara semua yang paling tahan lama (catatan : kepergian bisa karena kehabisan nafas atau kabur, atau dibuang ibuk), adalah kucing.

Dulu kata ibuk saya sayang sekali sama kucing, seingat saya juga begitu. Kami berbagi tempat tidur dan selimut. Mungkin karena saya tidak punya adik atau teman sebaya yang bisa diajak main dirumah. Tiap pagi si kucing bergelung diatas selimut dikaki saya. Tiap pagi kucing yang bersangkutan dimarahin ibuk. Saya punya banyak sekali kucing, ending kisah mereka dengan saya macam-macam : mati karena memang sudah usianya, mati tertabrak, dibuang ibuk, atau kawin lari dengan kucing lain. Setelah saya kuliah dan berteman dekat dengan cewek biologi yang sangat aware dengan keberadaan makluk mikro bernama virus dan bakteri yang ada disekitar kita yang menurutnya sangat membahayakan manusia, dan rambut kucing adalah rumah yang sangat nyaman untuk makluk-makluk mikro itu, saya tertular paranoianya. Sekarang rasa takut saya terhadap makluk mikro ini mengalahkan rasa sayang saya, saya berpikir berkali-kali sebelum memegang kucing.

Saya pernah punya anjing.Taukah kalian betapa lucu dan menyenangkannya anjing itu?Scala 0-10, saya beri 12. Tapi dibuang ibuk, karena suka jilat-jilat barang di halaman belakang.Najis katanya, repot ngebersihinnya. Huks. Saya tidak mengerti kenapa makluk semenyenangkan itu dikategorikan najis.

Saya juga pernah memelihara anak ayam. Mati duluan sebelum gede, keseringan dipegang. Lalu merpati, tapi kabur dari kandang.Masuk smp saya memutuskan tidak lagi memelihara binatang.

SMA kelas 2 seorang teman memberi saya anak kucing. Warnanya emas. Lucu sekali, matanya biru. Pertama diberikan si kucing berkutu banyak sekali. Saya jadi punya ritual baru waktu itu, memandikan kucing dan membersihkan tempat pupnya. Sungguh dia lucu sekali. Suatu sore ketika pulang sekolah saya mendapati dia lemas tak bergairah. Semua jenis makanan yang disodorkan tidak disentuh, malam harinya ada busa-busa disudut mulutnya. Saya suapkan susu dan memastikan dia tetap hangat malam itu. Besok paginya dia cukup membaik, senang. Sore sepulang sekolah, saya mendapati dia kaku dibalik pintu dapur. Mengingatnya masih membuat saya berkaca-kaca hingga saat ini.

Di awal saya mengontrak rumah bersama De-Te, niat untuk memelihara binatang muncul kembali.tetapi si home mate tidak setuju sama sekali. Menurut dia mengurung binatang disebuah tempat bernama kandang adalah dosa terbesar umat manusia. Saya diijinkan memelihara binatang jika dan hanya jika binatang tersebut tidak dikandangin, dan tidak dalam masuk daftar hewan terancam punah. Penyu dicoret dari daftar. Beruang kutub juga, tidak butuh larangan untuk mengetahui bahwa ini memang tidak mungkin, Kuskus. Larangan berikutnya adalah binatang berbulu. Kucing, Anjing, Marmut, Kelinci.Tidak.

Akhirnya pilihan yang ditinggalkan adalah memelihara ikan.Tapi apa lucunya memelihara ikan? Tidak bisa dielus, tidak bisa diajak main, tidak bisa diapa-apakan. Memandanginya malah menimbulkan efek lapar.

Sampai sekarang saya tidak memelihara binatang apapun. Dipikir-pikir lagi, saya memang belum punya kapasitas untuk itu. Dan demi kebaikan makluk hidup lain, sepertinya keinginan memelihara binatang saya harus ditahan dulu sementara waktu.

Sekian.
 
Neng Yosai mengposting sebuah tulisan di blognya, judulnya "Perempuan Achiever".
Couldn't be more agree! Yosay menyampaikannya dengan bahasa yang sangat jelas.

Sabtu, 10 November 2012

Hatiku Meradang Rindu

Hatiku meradang rindu
pada sebuah ilusi,yang tak berwajah

tapi aku mengenalinya,teramat sangat

yang membiarkanku salah
tapi tak membiarkanku hilang
yang mebiarkanku berlari
sambil tetap menjagaku dari kejauhan

yang jauhnya tak membuatku sepi
dan dekatnya tak menyakiti

Ilusiku tak berwajah
tapi aku mengenalinya, teramat sangat

Kamukah itu, sayang?