Selasa, 31 Desember 2013

Ga takut item!


Pantai Papuma, Jember
25 Desember 2013

Selamat pagi, 2014

Terbangun tadi pagi melihat HP tanggalnya menunjukkan 1 Januari 2014, dan yang terpikir pertama adalah "Oh iya, udah 2014 ya". Pengen bikin resolusi tahun baru, tapi kok kayaknya mainstream sekali ya. Jadi aja ga jadi. Hehe. Upload foto saja deh, untuk postingan pertama tahun ini.  Selamat pagi , 2014.



Photo taken at Papuma Beach, Jember. Des 25th, 2013

Manajemen Perjalanan, Penting!

Selang sehari setelah perjalanan ke Ranu Kumbolo bersama teman-teman kantor, saya diberi kabar bahwa ada seorang pendaki yang meninggal dalam perjalanan berangkat di pos watu rejeng, 6 km dari gerbang pendakian. Kabarnya kelelahan. Pendaki berusia 50 tahun-an.Semeru memang sedang tidak bersahabat ketika kami kesana, hujan sepanjang perjalanan. Di Ranu Kumbolo bahkan kami diterpa hujan angin. Untungnya teman-teman yang saya bawa kesana walaupun baru pertama kali melakukan kegiatan treking, tidak manja dan tidak banyak mengeluh.

Dihari yang sama kemudian saya mendapat kabar bahwa di gunung Gede juga ada yang meninggal, seorang pendaki yang masih muda dalam sebuah rombongan berjumlah besar. Meninggal di pos Kandang Badak (+/-6 jam perjalanan dari gerbang pendakian), indikasinya terserang Hipotermia.

Dua berita ini mengingatkan saya, pada kejadian bulan lalu,  operasi SAR dilakukan untuk mencari seorang pendaki, anak ITB 2008 yang hilang di Gunung Kendang daerah Pangalengan saat mendaki sendirian. Survivor akhirnya ditemukan dalam keadaan tak bernyawa setelah lebih dari 3 minggu proses pencarian.

Berita-berita ini membuat saya sedih. Saya masih ingat betul bagaimana rasanya kehilangan teman saat berkegiatan di alam bebas. (Semoga keluarga dan teman-teman yang ditinggalkan dikuatkan)
Juga menimbulkan pertanyaan, ada apa ya dengan tingginya frekuensi kecelakaan di alam bebas belakangan?

***

Semua orang yang memutuskan untuk berkegiatan di alam bebas (semestinya) tahu bahwa kegiatan ini berisiko tinggi.  Resiko terburuk yang kita hadapi adalah kehilangan nyawa. Ketahanan fisik dari pelaku adalah salah satu syarat, tapi tidak cukup itu saja, pelaku kegiatan harus memiliki kemampuan dasar untuk berkegiatan di alam,juga kemampuan memanajemen perjalanan termasuk didalamnya safety procedures. Atau setidaknya, didampingi oleh orang yang memiliki kemampuan tersebut.

Tapi trend travelling belakangan membuat aktivitas outdoor seperti hal "mudah". Dapat dilakukan oleh siapa saja kapan saja. Sementara tidak semua orang memiliki pengetahuan tentang safety procedure kegiatan di alam bebas, akibatnya resiko-resiko terabaikan.  Barulah saat keadaan darurat terjadi, panik, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Contoh sederhana, seperti pemilihan alas kaki. Dalam perjalanan ke Ranu Kumbolo kemarin saya menemukan banyak sekali yang mendaki dengan sendal jepit, beberapa yang saya temukan tidak menggunakan alas kaki, karena putus dalam perjalanan. Sementara trek pendakian licin sekali karena hujan sepanjang waktu. Resikonya : jatuh, terinjak duri, digigit binatang.Sia-sia sekali.

Contoh lain yang saya temukan, para pendaki yang hanya menggunakan daypack biasa dan tidak menggunakan rain cover.  Syukur-syukur jika masih membungkus pakaian-pakaian dengan kantong plastik, kalau tidak?  Mau menggunakan apa untuk malam hari?

(Belum lagi bercerita tentang para pendaki yang meninggalkan sampah di sepanjang jalur pendakian.Rrrr)

Saya sendiri juga masih sering lalai dengan persiapan perjalanan dan safety procedure,  baru ketika perjalanan dilakukan celah-celahnya kelihatan. Menghadapi kerepotan-kerepotan yang tidak perlu karena kurangnya persiapan bukan hal menyenangkan. Untungnya masih dilindungi, meskipun sempat beberapa kali mendapat kecelakaan ketika berkegiatan, hamdallah tidak ada yang berdampak parah

***

Lalu kalau sudah mempersiapkan perjalanan sedemikian rupa apa berarti perjalanan bebas resiko kecelakaan? Sayangnya tidak. Fungsi persiapan perjalanan yang baik hanyalah meminimalisir resiko tersebut. Membekali diri dengan pengetahuan, hingga ketika keadaan-keadaan terburuk terjadi kita tahu bagaimana harus menghadapinya.

Jika malas untuk  mencari ilmunya, setidaknya mintalah untuk ditemani oleh orang yang mengerti. Jangan nekat. Nyawa itu mahal.

Minggu, 29 Desember 2013

Setengah hitungan dari seratus purnama

Dan ternyata hampir setengah hitungan dari seratus purnama yang dulu pernah kita perbincangkan.

Setelah beberapa purnama yang timbul tenggelam tanpanya, puisiku, yang kupikir telah memudar, mewujudkan diri begitu saja dihadapanku. Dia bilang, dia merindu. Dan aku tergugu. dengan kenyataan bahwa kerinduannya memenuhi kosong disebuah ruang pikiranku, yang belakangan semakin memekat dan mulai mecekik. Kenyataan yang memaksaku untuk menapaktilasi perjalanan setengah hitungan dari seratus purnama yang dulu pernah kita perbicangkan. Seratus purnama yang kupikir hanya bentuk manifestasi angan-angan muda kita tentang romantisme yang tak lekang bilangan waktu,  tapi ternyata sudah terlewati hampir setengah hitungan. Dan saat ini kita masih berbincang tentangnya. Tentang purnama ke seratus.

Setengah hitungan dari seratus purnama, Rasa ini sudah melewati ribuan bentuk. Euforia sepasang muda yang dimabuk ketertarikan satu sama lain, mewujud perasaan sayang lalu hasrat dan Keinginan yang menguat. Keinginan menyayang.Keinginan melindungi. Kengininan memiliki. Keinginan mengenggam. Kemudian keingian-keinginan menjadi obsesi.  Kadang, jengah menguasai, karena rasa yang terlalu pekat tanpa kendali dan keterikatan yang tak pada tempatnya. Ada juga benci yang tak dimengerti, saat harapan-harapan tak terpenuhi.  Ada juga sebuah fase dimana keinginan yang ada adalah tak menginginkan apa-apa.

Beberapa purnama, kubiarkan pusiku memudar. Tapi ada sebuah rasa percaya yang kusimpan dalam diam,bahwa dia tak akan membiarkan dirinya memudar. Hanya, yang terbaik saat itu memanglah sebuah rentang, untuk belajar paham. bahwa ketika keinginan menguasai diri, kita lupa untuk mengasihi diri,

Bisakah kita mengasihi orang apa adanya tanpa mengasihi diri sendiri?

***

Dan kemudian dia muncul, lebih cepat dari yang kupikirkan.Dia bilang, dia merindu.Dan kemudian aku tergugu ketika rasanya, memenuhi rasaku. Sesaat aku mengelak. Kupikir, cukupkan, sudahi. Tapi hati terus-menerus membayangi. Kenapa terus-menerus mengingkari? Kenapa begitu takut akan hilang kendali?

Kemudian aku bertanya pada diriku.Sudahkah aku mengasihi diriku dengan layak?kupikir, sudah, aku sudah berusaha. Sesuatu menyentakku, mereka yang mengasihi diri sendiri dengan baik tak pernah takut hilang kendali. 

Lalu kuputuskan, sudah saatnya melepas berhenti menghindari dan lihat apa yang akan terjadi. Kuperhatikan lekat-lekat bagaimana rasa itu masuk kembali dan wujud yang dia tampakkan.

Dan lalu yang muncul pertama adalah sebuah sensasi  hangat. Hangat yang akrab. Sesaat kekhawatiran, tapi ternyata tidak, hangat ini tidak menyakitkan. Dan keheranan kecilku, ketika ternyata rasa itu ternyata mewujud kasih. Kasih yang sama dengan apa yang kuberikan pada diriku sendiri. Kasih yang lembut dan hangat. Menghangatkan. Kasih yang muncul dari sebuah perjalanan yang panjang dan perasaan saling menggenapi dengan pemahaman yang utuh. Mememenuhi kosong-kosong, tanpa menguasai dan tak menyakiti. Kasih yang lalu membuatku ingin menghangatkannya.  Berjalan disampingnya, tanpa keinginan apa-apa. 

Perasaan mengasihi semestinya tak menyakiti siapa-siapa.

Dan sepertinya rentang, berhasil mengajarkan kita tentang banyak hal.

***

Rasa penasaran membuatku menerka-nerka dimana kita berada saat seratus purnama itu datang. Akankah saat itu datang, kita ternyata lagi-lagi sedang membentang rentang,  karena kita ternyata masih saja belum mampu mengendalikan keadaan.

Atau mungkin ternyata kita sedang berada dibawah atap yang berbeda, dengan orang yang kita kasihi masing-masing. Mungkin saat itu kita masih saling mengasihi, dengan cara yang berbeda. Atau mungkin tidak. Kita bahkan lupa,pernah ada sebuah waktu yang kita tunggu-tunggu. Purnama keseratus. Kita hidup dalam kenyataan kita masing-masing.

Atau apakah kita sedang duduk dimeja yang sama,  berbincang tentang purnama keseratus yang akhirnya mewujud riang.

Dan iya, aku menerka-nerka.

Tapi kuputuskan, aku akan menikmati saja semua waktu yang berlangsung, dan semua rasa yang berkunjung.  Dan makna yang diberikan.

Setengah hitungan dari seratus purnama, rasa ini sudah melewati ribuan bentuk.
Dan, masih ada.

Jakarta, 29th Desember 2013
Been forever since my last poem,eh?

Rabu, 18 Desember 2013

Doa Sore

Mendapat email broadcast dari teman dikantor yang isinya layak dishare.

"“Jika dia menginginkan kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karuniaNya" (QS.Yunus :107)
 
Ketika aku meminta kekuatan
Allah memberiku kesulitan untuk membuatku kuat

Ketika aku meminta kebijaksanaan
Allah memberiku masalah untuk dipecahkan

Ketika aku meminta keberanian
Allah memberiku rintangan untuk kuatasi

Ketika aku meminta cinta
Allah memberiku seseorang yang bermasalah untuk kutolong

Ketika aku meminta kebaikan
Allah memberiku kesempatan

"Mungkin aku tak mendapatkan apa yang kuinginkan
Tapi aku mendapatkan apa yang kubutuhkan"

Senin, 02 Desember 2013

Balada Pesakitan

Ibuk bilang beliau tidak ingat apakah saya pernah terkena cacar atau tidak diwaktu kecil, tidak heran mengingat beliau membesarkan empat anak dengan jarak usia yang tidak terlalu jauh satu sama lain. Dan pertanyaan apakah saya pernah kena cacar atau tidak akhirnya terjawab dengan pernyataan dokter minggu kemarin, "mbak itu sih bintik-bintik cacar". Si dokter hanya memberi pernyataan singkat itu, dengan sebuah resep, dan satu surat sakti yang menyatakan saya harus beristirahat minimal 3 hari ini. Dan saya yang masih shock karena selama ini selalu berpikiran baik bahwa sepertinya saya pernah kena cacar waktu kecil dan sekarang sudah aman, juga tidak tahu harus bertanya apa.  Dari mbak-mbak kosan yang baik hatilah akhirnya saya banyak mendapatkan info, tentang apa yang harus saya hindari dan lakukan
Analisa teman, si saya tertular cacar dari seorang anak peserta acara liburan ceria kantor yang saat itu saya jadi panitianya. Yang membuat saya sangsi, bahwa acara itu sudah cukup lama berlalu, sekitar tiga minggu yang lalu. Tapi katanya, mungkin saja si virusnya sudah mengendap lama dan menunggu ketika sistem imum saya sedang drop. Penjelasan yang mendadak masuk akal, karena si saya yang memang rada memaksakan diri untuk tetap ke bandung wiken itu dalam keadaan capek, dan kemudian malah berenang saat matahari sudah cukup terik. Dan sukseslah si virus yang sudah mengendap lama dalam tubuh menguasai tubuh saya yang sedang drop sistem imunya.
Sakit selalu menjadi hal menakutkan bagi saya. Mencuri waktu dengan kejam. Seperti saat ini, saya nyaris tidak melakukan apa-apa sejak minggu kemarin. Karena itu, saya berusaha sebisa mungkin menjaga pola olahraga dan makan saya. Tapi sayangnya ada satu faktor penting yang  belum mampu saya jaga, menjaga pola pikiran. Kemampuan saya mengatur pekerjaan buruk sekali seminggu kemarin, akibatnya, saya stress sendiri.Dan saya sadar bahwa jika saya tidak bisa mengatasinya, stress ini akan berdampak ke fisik. Dan ternyata efeknya berdampak lebih cepat dari yang saya bayangkan,haha.
Mencoba mengambil sisi positifnya. jangan lagi-lagi acuh untuk menjaga kesehatan, kesehatan fisik, dan kesehatan pikiran. Karena sungguh deh, sakit itu tidak enak, dan mahal.

Senin, 18 November 2013

Halo semesta dalam layar, apa kabar?
Sudah lama ya?Hehe, maaf. 
Tapi Dunia luar sini meminta begitu banyak perhatian belakangan.
Untuk numpang lewat menulis hanya satu dua baris kalimat-kalimat klise rasanya tak tega.

Will make a time for you this week.(Insha Allah)

Kamis, 31 Oktober 2013

Weekly Photo Challenge : Horizon

The Sea, the sunset, and the sky, such a cliche. Yet, we still falling for it over and over.

Entry for Weekly Photo Challenge : Horizon
Photo taken by Canon PowerShot A2200 at Menjangan Besar island, Karimun Jawa, Mei 2012

Minggu, 27 Oktober 2013

Jumat, 18 Oktober 2013

Obsesi foto ala The Beatles


Oke, ini alay. Tapi godaan untuk meniru foto ala the beatles ini selalu muncul setiap saya harus menyeberangi perempatan jalan depan kantor, yang waktu tunggu lampu merah untuk kendaraannya bisa lebih dari 2 menit sehingga pejalan kaki bisa menyeberang jalan like a boss .
Sebenarnya ada 3 model, tapi model yang satu lagi jalan terlalu kencang karena takut keburu habis lampu merahnya.Haha. Sepertinya harus diulangi lagi dengan kamera yang beneran (karena waktu itu cuma bawa hape) dengan model-model yang lebih ga takut sama klakson dan tatapan aneh dari orang-orang. 

Weekly Photo Challenge : Infinite

I was poured with ton of ideas once I see the challenge’s theme, Infinity. I thought that it would be an easy homework. But turned out that It was not as easy as I thought it would be. I experimented with a lot of objects, taking photos. But some snapshots look like just an ordinary pattern while the others are so abstract I’m not sure people could catch the idea of the infinity on its.
For today is the post deadline, I choose one from my experiments that (I think) would meet the idea.
Here it is.

Plaited bamboo, ornament of a chair belong to Indonesian Culture. Could you get the idea of Infinity on it?

Jumat, 11 Oktober 2013

Got a Postcard! :D



Got a Postcard from Ms. OMG! Aha!

So, this friend of mine who currently live in Porto, bella , made this unique cartoon character, Ms.OMG and taking photo of this character in every place she visited and every friend she met. This cute character became famous immediately. And she also do post card give away session in her blog. I got this one from the first session, months ago, I almost forgot. Haha. The post card just have a long long long trip across the world.

Thankyou  bella! Amin for the wish. :D


Pertama kali dapat hadiah give away di blog. Maafkan ya kalo saya terlalu excited, hehe

Kamis, 10 Oktober 2013

Weekly Photo Challenge : Good Morning!



I am working on a new habbit since I've been living in my current city, a  little exercise, go jogging early morning before work to a public open space near to mine, Monas. Twice a week more or less. The outest area, surrounding the monas is a park with some block paving paths throught it which is my favourite. With the tress  along paths, it's felt so green and dense. The track rather quite in the morning of the weekday (but not at weekend). I usually start  at 5.15 and finish at 6.00, when the sun just about to rise up. My default answer when friend ask me what is my motivation to maintain such habbit is ,"I am addict to exercise".




To speak the truth, I am not into running that much. I'm used to ending the session sitting in the park chair, take a break for 5 to 10  minutes just to feels the  surrounding. Hearing the birds singing , watching the colored morning sky, feeling the warm morning sunshine pouring my  skin. That session, the one that I am addict to.



I always have this thought that it is every human being primary need, to have this personal touch with the universe, so that our life get trully alive. In my personal experience, that is my alternative way to feel the existence of God. But living in a such a crowded city,work 5/7, 8 to 5, it's so easy to forget how beauty world and life itself really is. Spend 9 hours at the big pretentious artificial building, and some other hours trapped at the jam, the vibration of the universe start to fade away I can't even feel it sometime. I'm kind of miss it.

So I work on it. Make efforts to wake up at the morning, go out before the sun so that I can see it set up at the sky. Take some silence time to sense the surrounding. Say "hello, good morning" to the universe. And I think that effort, is worth it.

Beside, take exercise before work is really good, charge you with a lot of energy to rock the day. Give it a try!

This post is for  : weekly photo challenge : Good Morning!
Photo taken September 11st 2013 at Monas Park, Jakarta, Indonesia 

Minggu, 06 Oktober 2013

Now Open : Little Wings

It's officially open : Little Wings



New cafe and library located at Cigadung Raya Barat 2, Bandung. It's our intention, to provide people a pleasant place to read, eat, gather or just looking for some inspirations.

Every you is invited to come. So,please? :)

Selasa, 01 Oktober 2013

Catatan Perjalanan Kinabalu (Hari Ketiga)

Sabtu, 7 Juni 2013

Kami terbangun sebelum guide datang membangunkan. Lorong kamar terdengar gaduh oleh para peserta pendakian yang sedang bersiap-siap.  Saya yang sudah menggunakan perlengkapan siap tempur sebelum tidur, hanya tinggal menggunakan kerudung. Lalu duduk manis menunggu yang lain bersiap-siap. Pertama kali merasakan sesi berdandan sebelum mendaki. Lalu Mbak H datang dari kamar mandi sambil tertawa-tawa, membawa laporan melihat seorang bule yang sedang menggunakan maskara. Haha. Yostal ada teman. Segera kami turun ke restoran.

Di restoran sudah tersedia early breakfast untuk para pendaki dan antriannya cukup panjang. Jenis-jenis makanannya bermacam-macam dan menggoda sekali. Tapi makan terlalu banyak sebelum mendaki jelas bukan ide baik.

Kami sudah selesai makan sebelum pukul 3.00 wib, tapi karena Gate menuju puncak di pos sayat-sayat baru dibuka oleh petugas pukul 3.00, kami tetap harus menunggu jam tiga untuk memulai pendakian. Sebagai pemanasan summit attack (pendinginan?) kami keluar ruangan. Perubahan cuaca dari rumah kayu yang hangat ke udara 3259 mdpl yang dingin langsung mengigit kulit. Kami berdoa (dan berfoto) sebelum berangkat.


Selama persiapan perjalanan ini, orang-orang selalu berkata bahwa pendakian ke Kinabalu adalah pendakian piknik. Alasannya karena jalurnya yang mudah dan jelas, dan karena ada penginapan. Karena itu hampir sebagian besar dari kami tidak terlalu mempersiapkan fisik dengan serius untuk perjalanan ini, meskipun tinggi gunung ini adalah 4098 mdpl.

Well, perjalanan dari gerbang ke laban rata bolehlah di bilang piknik. Tapi perjalanan dari laban rata menuju puncak? Kami tidak mempersiapkan diri untuk ini. Sama sekali tidak semudah yang dibayangkan. Ingatan biaya 983 ringgit yang sudah dikeluarkan jadi motivasi untuk tidak mundur turun. 


Seperti kemarin, kami berjalan dengan flow masing-masing karena tidak ingin saling merepotkan. Tidak terlalu khawatir akan ada yang tertinggal atau tercicil karena pendaki yang mendaki banyak sekali. Terdapat beberapa titik jalur sempit dimana pendaki harus antri untuk melewatinya. Karena dingin dan kemiringan yang lebih tajam, kami berjalan pelan saja. Sekitar setengah jam berjalan saya mendapat kabar dari guide bahwa mbak may tidak melanjutkan karena cici ternyata muntah diperjalanan. Mbak citra dan Ika juga mengundurkan diri dari pendakian ke puncak.

Sekilo pertama menuju pos sayat-sayat, jalur yang dilewati adalah jalan tanah berbatu yang sempit dan masih terdapat pohon disepanjang jalur. Tapi jarak antara satu undakan menuju undakan selanjutnya semakin tinggi. Setelah pos sayat-sayat, medan yang harus kami lewati adalah padang batu. Benar-benar padang batu. Sepanjang mata memandang hanya ada batu.

Melihat medan pendakian dari pos sayat-sayat ke puncak ini, saya sedikit lega karena mbak may tidak jadi membawa Cici ke puncak, karena cukup ekstrim. Pada beberapa titik dimana kita harus semi memanjat hanya dengan berpegangan pada tali. Juga terdapat satu spot dimana pendaki harus berjalan melipir di jalur yang sangat tipis yang langsung bersisian dengan jurang tebing, yang kami sendiri tidak menyadari hingga kami turun dan melihat jalur-jalur tersebut saat hari sudah terang. Tapi karena medannya berupa batu yang solid, pendakiannya tidak semelelahkan pendakian puncak mahameru, atau anjani. Jauh lebih nyaman untuk menapak. Dua jam berjalan, tujuan akhir mulai terlihat : Low's peak kinabalu. Tapi meski sudah terlihat, puncak ternyata tidak sedekat itu.

Bentuk puncak gunung Kinabalu seperti gunung arjuno, puncakan batu yang sempit. Sehingga orang-orang harus antri untuk berfoto di puncak. Keramaian di puncak terlihat jelas dari belokan terakhir sebelum ke puncak. Dinna membatalkan niatnya menuju puncak, terlanjur malas melihat keramaian. Puncak bukan tujuan memang.Tapi foto-foto dipuncak, jelas tujuan.

Saya sampai di puncak sejam kemudian, pukul enam pagi. Peserta pertama dari rombongan kami yang sampai di puncak adalah mbak Yanti. Mbak yang satu ini emang luar biasa sekali staminanya. Semua orang sampai heran beliau dapat stamina dari mana. Setelah mbak Yanti ada yostal dan baru saya. Setelah beberapa saat sesi foto-foto di puncak, mbak Sinta muncul. Wohhh. Ibu-ibu ini kece-kece memang.



Setelah menemani mbak Sinta foto-foto sebentar, kami segera turun. Hanya beberapa puluh meter turun saya bertemu dinna yang sedang berfoto-foto bersama mbak Nina, yang juga tidak menyelesaikan hingga ke puncak dengan alasan yang sama dengan Dinna. Lalu kami turun bersama. Tidak berapa jauh kemudian, kami bertemu dengan mbak Ni'ma, mbak H, dan mbak Noni. Mereka pun sebenarnya tidak terlalu jauh dari puncak, hanya saja karena sudah melewati batas waktu, guide melarang mereka meneruskan perjalanan ke puncak. Cukup tegas memang guide-guide disini.


Tapi pemandangan sepanjang perjalanan turun tidak kalah menarik kok dengan pemandangan di puncak sana.




Setengah jam diawal perjalanan turun, kabut masih menutupi pemandangan sekitar. Memberik efek mistis pada batu-batu dan puncakan-puncakan disekitar. Berasa di film lord of the ring (beneran). Setelah kabut mulai hilang barulah pemandangan sekitar terlihat jelas. Keren sungguh. Suasana baru yang belum pernah saya dapatkan setelah beberapa kali mendaki gunung. Megah, kosakata yang cocok untuk mendeksripsikannya.



Mbak Sinta baru sampai di Laban rata setelah kami selesai makan dan packing barang-barang untuk turun. Beliau ternyata keseleo dalam perjalanan turun sehingga terpaksa berjalan pelan-pelan.

Setelah menunggu mbak Sinta makan dan packing kami segera memulai perjalanan turun dari Laban rata ke Timpohon Gate. Beberapa orang yang sebelumnya tidak menggunakan jasa porter untuk membawa barang saat naik memutuskan menggunakan jasa porter untuk turun karena takut kecapekan dan menganggu perjalanan.

Setelah menunggu mbak Sinta makan dan packing kami segera turun. Beberapa orang yang sebelumnya tidak menggunakan jasa porter untuk membawa barang saat naik memutuskan menggunakan jasa porter untuk turun karena takut kecapekan dan berjalan pelan.

Kanan : Laban rata dari atas. Tengah : Restoran Laban rata. Kiri :  Laban rata dari bawah.

Beberapa saat berjalan turun dari Laban Rata, masing-masing orang kembali dengan flow jalan masing-masing. 

Perjalanan turun gunung adalah bagian paling membosankan dari mendaki bagi saya. Semua motivasi sudah habis dan saya hanya ingin segera mungkin kembali kebawah. Dan meskipun turun, perjalanan turun jauh lebih menyakitkan daripada naik, karena beban semuanya ditumpukan pada lutut dan pergelangan kaki. Lutut yang berdenyit-denyit sepanjang perjalanan membuat saya seketika merasa mulai mengalami gejala penuaan. Sayangnya bagian turun ini tidak bisa di skip begitu saja.  Yang paling menyiksa tentu saja undakan-undakan sepanjang jalur yang sewaktu naik sangat membantu, saat turun memaksa kita untuk benar-benar menapak satu-satu. Membuat beban tubuh benar-benar terpusat pada paha, lutut, dan pergelangan kaki. Bersabar dan tetap melangkah satu-satunya cara untuk bisa sampai ke bawah.

Pukul setengah empat, satu persatu peserta mulai sampai di bawah. Satu orang yang masih belum sampai yaitu mbak Sinta, yang berjalan pelan di belakang bersama guide karena kakinya yang keseleo. Maksimal pukul empat seharusnya kami sudah dalam perjalan kembali ke kota Kinabalu untuk mengejar pesawat kami ke Kuala Lumpur pukul delapan malam.

Akhirnya mbak Yanti mengusulkan diri untuk menunggui mbak Sinta agar kami semua bisa segera mengejar pesawat. Beliau sendiri memang belum membeli tiket karena takut hal-hal seperti ini terjadi. Mbak May lalu mencoba menghubungi mbak Sinta dari telepon dan mbak Sinta setuju dengan rencana tersebut. Kalau sempat dia berusaha untuk tetap mengejar pesawat yang sama.  

Kami segera naik kendaraan ke Head Quarter untuk mengambil sertifikat dan membeli oleh-oleh bagi yang berminat. Masih ada jatah satu kali makan lagi sebenarnya di Head Quarter untuk kami, tetapi karena buru-buru kami langsung ke Bandara.Pukul tujuh kami sampai di Bandara Kota Kinabalu. Lega karena tidak harus membeli tiket pesawat baru. Sayangnya mbak Sinta tidak sempat mencapai bandara pada waktu yang tepat, karenanya beliau harus menginap semalam lagi di Kota Kinabalu dan membeli tiket pesawat baru.

Hampir pukul sebelas malam ketika kami sampai di Kuala Lumpur. Kecapekan, tapi bahagia dan masih bisa senyum lebar ketika berfoto.



Dari sini tim kembali terbagi. Mbak Nina dan mbak Citra bermalam di bandara untuk mengejar penerbangan mereka besok pagi ke tempat domisili masing-masing. Sementara sisa tim berangkat ke KL sentral menuju tempat tinggal teman mbak May, tempat kami akan bermalam di KL malam itu. As always, extended trip, jalan-jalan kota :D

Diluar biaya perjalanan yang cukup bikin dompet teriak, pendakian dua hari ini salah satu pendakian paling menyenangkan bagi saya. Karena pemandangan indah yang berbeda, dan teman-teman perjalanan yang kece-kece. Senior yang baru pertama kali saya temui walau sudah beberapa kali bertegur sapa di dunia maya : mbak Nina. Teman-teman baru, mbak Ni'ma dan Mbak Noni (lebih pantas saya panggil tante sih,hehe). Dan bernostalgia bersama mbak Citra, mbak H, Ika, mbak May, dan tentu saja si kecil Cici. Oh ya, Yostal dan Dinna juga (dua orang ini tidak perlu disebut sebenarnya :p)

Bagi saya, perjalanan ini seperti pemberi harapan, bahwa mimpi menjelajah alam semesta itu mungkin-mungkin saja terpenuhi. Dengan dicicil sedikit demi sedikit (Lebay deh fa)
***
Demikian catatan perjalanan saya ke Kinabalu, akhirnya setelah beberapa bulan menunda catatan ini selesai juga. Lega serasa habis bayar hutang. Semoga bisa membantu bagi yang butuh informasi, walaupun lebih banyak cerita yang ga pentingnya.hehe.

Sedikit garis bawah saya, jangan anggap remeh. Meskipun dibilang gunung wisata, bukan berarti membolehkan untuk tidak mempersiapkan fisik dengan baik loh sebelum kesini. Sungguh deh tidak semudah itu. Terbukti, butuh waktu seminggu lebih untuk bisa kembali berjalan normal dan naik turun tangga tanpa kesakitan.  Jadi yang mau kesana, persiapkan mental fisik dan dompet sebaik-baiknya. Happy climbing, safety first, and don't littering! :D

Catatan Perjalanan Kinabalu (Hari Kedua)

Jumat, 6 Juni 2013

Keesokan harinya kami mulai bersiap-siap packing setelah solat subuh, lalu ke ruang makan untuk melihat sarapan apa yang tersedia. Sarapan include dengan biaya penginapan, tentu saja sarapan alakadarnya yang semuanya self service. Bahkan jika kehabisan alat makan bersih pun kita harus mencuci sendiri di dapur. Menu yang tersedia pagi itu yaitu roti, telur rebus, dan minuman-minuman instan sachet. Saya, dinna dan yostal memilih keluar mencari sarapan yang bisa memberikan lebih banyak bekal tenaga hari ini, sambil melihat-lihat kota.



Kota kinabalu terlihat berbeda ketika pagi hari. Kota ini cukup besar dengan jalan-jalannya lebar walau tidak terdapat pemandangan gedung-gedung tinggi. Bangunan-bangunan di sekeliling terlihat tua dan ttmosfer sekitar terasa pelan, seperti Jogja. Rasanya kota yang sangat cocok untuk para pensiunan. Kami keluar pukul 06.00 dan toko-toko masih tutup. Terdapat beberapa rumah makan yang sudah buka tetapi masih sepi pengunjung. Hasil observasi singkat membuat saya menyimpulkan bahwa Mayoritas penduduk disini adalah chinese dan melayu, hampir semua toko menggunakan 2 bahasa tersebut pada plang namanya. 

Kota Kinabalu terletak di pinggir laut, tetapi memiliki banyak bukit-bukit kecil di tengah kota. Di salah satu sisi kota terdapat satu teluk kecil yang sempit dan cukup panjang, seperti sungai ditengah kota. Landcape, bangunan-bangunan, dan penduduk kota ini mengingatkan saya pada kampung Nias di Padang. Kami memilih  sebuah restoran yang terlihat menarik dan dengan baiknya pelayan toko mengingatkan kami bahwa makanan yg mereka sediakan tidak halal. Kami berpindah ke restoran di blok sebelah dan ternyata yang punya orang jawa dan muslim, jadi aman.


Pukul 06,30 kami kembali ke bunibon lodge dan beberapa orang ternyata masih bersiap-siap sehingga kami masih punya waktu untuk menyeduh kopi. Beberapa anak sekolah yang sepertinya sedang jalan-jalan dan menginap di tempat yang sama meminta memfoto bersama. “mak cik, dari indonesiakah? Boleh lah minta foto? Macam di sinetron-sinetron lah ini” . Duh dek. Untung di kota asing.

Pukul 07.00 jemputan kami dari best borneo travel sudah datang. Setelah sedikit kerempongan dan foto-foto kami berangkat menuju kinabalu pukul 07.30.  


Karena kurang istirahat semalam, saya hanya sempat sebentar melihat-lihat kota dan segera tertidur. Cici yang sebelumnya berpelukan ke Ika berpindah kesebelah saya dan dengan nyamannya bersandar tidur di lengan saya. “Empuk ya ci?”,kata Ika.

Pukul 09.30 kami sampai di Head Quarter Taman Kinabalu. Setelah registrasi ulang, kami berpindah ke sebuah bus besar yang mengantarkan kami ke kaki jalur pendakian. Pukul 10.00 kami sampai di gerbang pendakian Timpohon gate lalu segera memulai pendakian setelah briefing singkat, berdoa bersama, dan tentu saja, foto-foto sebelum mendaki saat semua orang masih terlihat segar.

FYI, harga paket pendakian ini adalah 983 MYR/orang.  Hampir 3 juta rupiah. Mahal ya? Memang. Tapi setelah merasakan fasilitas-fasilitas di sepanjang perjalanan itu, saya rasa itu harga yang worth it (baca sini). Kami membeli paket ini melalui agen Best Borneo. Menurut mbak May, bakal lebih murah membeli di agen daripada langsung ke Head Quarter.  Fasilitas yang kami dapat untuk harga itu adalah : guide, penginapan, 5 kali makan (2 kali berupa ransum, dan 3 kali berupa makan ala prasmanan di laban rata), serta sertifikat. Penginapan? Iya. Gunung Kinabalu memiliki sebuah penginapan ala hostel di jalur pendakiannya pada ketinggian 3259 mdpl, yaitu penginapan Laban Rata. Di penginapan inilah para pendaki bermalam sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak esok dini hari. Kebijakan pengelola tidak membolekan pendaki memasang tenda di sepanjang jalur pendakian sehingga semua pendaki harus menginap di penginapan ini. Jalur pendakian Kinabalu pun hanya satu akses, karena itu perijinan pendakian hanya bisa didapatkan dari head quarter ini. Oh iya, harga paket itu diluar biaya porter. Untuk biaya porter dikenai perkilogram barang. Untuk yang masih muda-muda saya rasa tidak harus menggunakan porter, karena toh barang yang harus dibawa hanyalah baju ganti dan jaket.

Suasana jalur pendakian Kinabalu ini seperti jalur pendakian gede lewat Cibodas, hanya saja dengan jalur yang lebih rapi. Tipikal hutan tropis dengan udara yang terasa lembab. Sepanjang jalur sudah dibuat undakan-undakan tangga untuk membantu pendaki. Beberapa undakan dibentuk secara alami menggunakan batu, dan sebagian lainnya dibentuk dengan potongan kayu atau besi. Untuk jalur-jalur yang memotong sungai sudah dibuatkan jembatan. Dari peta yang saya dapatkan, total panjang jalur pendakian adalah 8,5 km. 


Untuk hari pertama kami berjalan 6 km, yaitu hingga laban rata (3272 mdpl). Perjalanan hari kedua hanya berjarak 2,5 km tetapi merupakan bagian yang terberat karena dalam rentang 2,5 km itu kita harus menaiki ketinggian sekitar 800m.Rata-rata lama pendakian hari pertama ini adalah 6-8 jam.

Kilometer pertama,
Cici beberapa kali jalan sendiri loh :)
Dari gerbang hingga pos pertama, rombongan masih berjalan dengan irama yang sama, sehingga kami masih bisa beristirahat bersama di pos pertama. Kecuali mbak May yang berjalan bersama cici dan sudah berpesan dari awal untuk tidak ditunggui, karena takut merusak flow jalan yang lain. 

Dari pos pertama hingga selanjutnya, para peserta mulai berjalan dengan flow jalan masing-masing. Tapi masih berpapasan di tiap pos peristirahatan. Kecuali mbak May, mbak Citra, dan Ika yang berjalan selow di belakang membuat kloter sendiri ditemani seorang guide. Cici sendiri akhirnya digendong oleh porter. Karena berjalan dengan irama yang berbeda, rombongan datang berbeda-beda di Laban rata. Di kloter depan, saya dan dinna adalah yang berjalan paling belakang. Begitu  laban rata sudah mulai terlihat, Sekitar pukul 17.30, saya dan dinna malah memilih berhenti lama di jalur, berbaring di sebuah batu besar. Seperti biasa, bermalas-malasan, haha. A personal way of enjoying the trip. Kalo kata mbak H, "mendaki itu kayak meditasi, mana bisa ngerasain nikmatnya kalau buru-buru".

Pukul 18.00 kami segera menuju Laban rata dan mendapati teman-teman sudah berkumpul di meja makan, bahkan belum berganti pakaian. 

Di laban rata, makanan disajikan secara prasmanan. Untuk makan malam disajikan mulai pukul 17.00 hingga 19.30. Semacam siapa cepat dia dapat. Pukul 19.30 restoran sudah ditutup. Karenanya, para pendaki sudah harus sampai di Laban Rata sebelum pukul 19.30. Untungnya ketika kami datang makanan masih banyak. Khawatir pada kloter belakang yang masih belum sampai, kami menyisihkan makanan untuk mereka dan menyimpannya di kamar. (Tapi sepertinya ke khawatiran kami berlebihan, karena makanan yang kami simpan jumlahnya tidak rasional untuk 3 orang, bahkan untuk orang yang kelaparan sekalipun). 

Laban rata adalah bangunan yang terbuat dari kayu, terdiri atas 2 lantai. Dilantai satu terdapat beberapa kamar dan restoran. Diluar restoran terdapat beranda yang cukup besar dengan pemandangan disamping kiri adalah jalur batu menuju puncak kinabalu dan ke depan pemandangan terbuka kebawah.  Perfect place to catch the sunset. 

Kami mendapatkan satu kamar di lantai satu dan satu kamar di lantai dua. Untuk lantai satu kami mendapatkan kamar ekslusif dengan kamar mandi di dalam. Wohh.  Sayangnya saya terlambat datang, karena ternyata stok air panasnya tebatas. Dan akhirnya saya nekat mandi dengan air dingin malam itu (kapan lagi coba mandi di 3272 mdpl?). Tidak usah saya ceritakan rasanya seperti apa.

Pukul 7 kloter kedua datang, Alhamdulillah rombongan sudah lengkap.  Pukul delapan semua orang segera berganti pakaian dengan pakaian tidur.  Para guide mengajak kami briefing singkat sebentar sebelum tidur. Perjalanan besok hari akan dimulai pukul tiga, dan kami akan dibangunkan pukul dua. Para guide menegaskan bahwa ada check point untuk pendakian menuju puncak ini. Dan jika  ada yang tidak sampai di cek point sebelum waktu yang ditentukan, mau tidak mau kami harus turun.  Kami mengiyakan. Mbak May yang membawa cici menyampaikan bahwa dia hanya akan naik sampai semampunya cici. Juga Ika yang sedang bermasalah dengan tulang belakangnya.

Pukul Sembilan kami segera menuju kamar untuk beristirahat. Pertama kali seumur hidup saya merasakan makan enak sampai kenyang, tidur nyaman dikamar dengan kasur dan selimut, dan listrik sebelum pendakian menuju puncak.

(bersambung)

Tulisan sebelumya pada "Catatan Perjalanan Kinabalu (Hari Pertama)"

Catatan Perjalanan Kinabalu (Hari Pertama)

Kamis 6 Juni 2013

Perjalanan ke Kinabalu adalah perjalanan kedua saya bersama mbak-mbak KMPA ladies. Agak sedikit lebih keren daripada pendakian pertama kami, karena kali yang kedua ini naik gunungnya nyebrang negara :p.

Perjalanan dimulai pada hari kamis, 6 Juni 2013. Meeting point keberangkatan adalah bandara soetta terminal 3, pada  jam 17.00 wib. Pesawat kami menuju Kinabalu pada pukul 20.00 wib menggunakan maskapai Air Asia , satu-satunya pesawat direct flight kesana dari Jakarta. Tiket pesawat ini sudah kami pesan dari 6 bulan sebelum perjalanan, dengan harga 723.000 IDR

Sekitar  pukul 18.00 semua peserta sudah berkumpul di terminal 3, yang tentu saja segera menjadi pusat perhatian orang-orang. Sekumpulan wanita cantik (abaikan) yang mayoritas emak-emak dengan bawaan kerir-kerir dan daypack macho. Yang paling fenomenal tentu saja tetap adalah teman cantik saya, neng yositalida. Yang datang dengan tas jepit cantik, sepatu cantik, dan jilbab ala hijaber sambil membawa kerir yang ukurannya paling besar diantara semua peserta. “Naik gunung juga harus tetap cantik cynnn”, motonya.




Jakarta-Kinabalu berjarak tempuh 2 jam perjalanan udara, karena terdapat perbedaan waktu satu jam, kami sampai di Kinabalu pada pukul 11.00 pm waktu sana. Disana kami dijemput oleh transportasi yang disediakan oleh hostel tempat kami akan menginap malam itu, bunibon lodge. Transportasi ini adalah fasilitas tambahan dengan biaya terpisah dengan biaya penginapan. Untuk penginapan semalam di bunibon lodge ditambah dengan airport pickup total untuk 11 orang ini kami mengeluarkan biaya 345 MYR atau sekitar 120.000 IDR/orang. 


Pukul 12.00 kami sampai di penginapan.  Pengalaman pertama saya menginap di hostel. (karena biasanya selalu numpang nginep dirumah teman yang ada di daerah destinasi, atau sosped cari tumpangan ke penduduk lokal, atau tidur di terminal, haha). Hostel ini terdiri atas 2 lantai. Lantai pertama adalah frontdesk dan kasir, tempat tinggal keluarga pemilik, beberapa kamar inap dan ruang santai serta dapur dibagian belakangnya. Sementara lantai 2 adalah kamar-kamar hostel dengan sebuah ruang duduk kecil dibagian tengahnya. Kamarnya kecil, tapi cukup layak untuk tidur. Satu kamar beisi 3 ranjang bertingkat untuk 6 orang. Kamar mandi di luar dan digunakan bersama. Agak bau, tapi karena sedang mode koboy dan toh cuma menginap semalam kami tidak terlalu perduli. Ada godaan impulsif untuk merasakan atmosfer malam kota tersebut, tapi karena besok harus berangkat pagi ide tersebut kami skip. Setelah beres-beres sebentar dan sesi krim malam para emak-emak ("tunggu deh nanti kalo kalian udah kepala tiga",-mbak H dan mbak Ni'ma) semua orang segera beristirahat. 

(Bersambung)

N.B :
Catatan perjalanan ini dibuat untuk memenuhi janji saya untuk membuat catatan perjalanan berbulan-bulan yang lalu. Maafkan heu.

Tulisan lainnya :


The Pursuit of Perfect Omelet


Getting obsessed about making a perfect milk cheese omelet. 
That is the umpteenth experiment, still failed thought. Ha ha. 
Don't worry, me haven't give up yet. 

Sabtu, 28 September 2013

Open Soon





 Little Wings
 Library Cafe. Cigadung Raya Barat 2, Bandung.
A space for you to read,eat,and meet.
Will start to open October 1st
Come, please? :)


Jumat, 27 September 2013

The Sesepuh was Back on Track

Akhirnya setelah melewati persiapan yang cukup njelimet gara-gara waktu persiapan yang pas-pasan, media komunikasi yang terbatas, dan banyaknya keinginan yang harus dipertemukan, ide perjalanan ke Papandayan dan Tegal Panjang bersama para angkatan tts (tua-tua sekali) tidak berakhir wacana. Horay. 


Dan ternyata yang ikut lumayan banyak. Ditambah dengan beberapa yang menyusul terdapat sekitar 35-an orang anggota KMPA yang berkemah di Pondok Selada malam itu. Penghargaan peserta terbaik sepertinya  dipegang oleh mbak Maya (GL 88) yang membawa paket lengkap : suami, tiga anak perempuannya dengan yang paling kecil berusia 2 tahun, dan seorang temen anaknya. Angkatan TTS lainnya yang ikut ada mas Arif (IF 86) dan istrinya mbak Chandra (yang baru pertama kali naik gunung seumur hidupnya,wogh), lalu mas Aris (GD 89) dan istrinya mbak Ephi yang juga anggota kmpa(Plano 89). Yang tidak membawa pasangannya serta yaitu mbak Sinta (TM 90), mbak Citra (TL 90), bang Dana (plano 89), dan mas Fajar (aduh lupa jurusan dan angkatan berapa) yang membawa serta anaknya yang tertua. Seleb-seleb usia nanggung dan para pemuda tidak saya list disini.hehe

Dan ini pertama kalinya saya ke lapangan dengan jumlah seleb-seleb tts sebanyak ini. Saya hanya pernah dua kali mendaki gunung bersama mbak chitra, dan sekali bersama mbak Sinta. Suasanannya tentu saja berbeda. Semangat-semangat anti tua mereka membuat perjalanan menyenangkan . Banyak cerita-cerita yang didapatkan, gosip-gosip juga haha. Dan tentunya, pelajaran-pelajaran. Hal yang paling saya senangi dari para seleb ini adalah, meskipun mereka sedang berada di tahap-tahap terbaik dalam hidup mereka, karir, keluarga,spiritual, mereka bisa membawakan diri dengan sangat natural sehingga tidak membuat para muda-muda canggung, sama sekali tidak menggurui dan minta diprioritaskan secara berlebihan. Sederhana dan apa adanya. Menjadi semacam petunjuk bagi saya, ingin menjadi seperti apa saya 20 tahun lagi.




Meracau~

I'm not a naturally happy-go-lucky-optimist-person. Hanya saja jika dulu saya membiarkan emosi mengontrol sikap dan raut muka saya, sekarang saya lebih suka menyimpan kegalauan untuk diri saya sendiri. Dan saya semakin jarang mengejawantahkan (?) kesemrawutan pikiran saya dalam tulisan, hingga tidak ada jejak-jejak hina dina pikiran saya yang terdokumentasikan. Sehingga ketika saya sedang normal dan baik-baik saja, saya merasa bahwa saya selalu baik-baik saja, sepanjang waktu. Dan jadilah saya terlihat seperti a super positif optimist person. Oh yeah sekali pokoknya.

Sejak kapan saya berhenti menulis untuk menuangkan pergolakan (kegalauan) pikiran? Satu-dua tahun ini mungkin. Alasannya, saya mulai bosan mendefinisikan rasa dan pikiran yang bentuknya sangat-sangat abstrak. Mencari-cari kata untuk mengurai apa yang saya pikir dan rasakan. Dan lagi, saya mulai menyadari bahwa  dalam keadaan seperti itu, tulisan saya sangat sangat sangat beraroma negatif, dan kenegatifan itu menular.Melalui sikap, atau sekedar tulisan. Dan kenegatifan yang sama, bisa terbangkitkan kembali ketika saya membaca ulang tulisan tersebut. Dan akan sangat buruk sekali, jika saya kembali kepada kebiasaan lama, membiarkan mood mengontrol sikap. Karena saya sudah bertekad sepenuh hati untuk menjadi wanita dewasa anggun bijaksana baik hati rajin menabung dan tidak sombong.  

Karenanya saya mulai mencoba melakukan hal-hal yang dilakukan banyak orang untuk memusnahkan gelombang- gelombang negatif yang sedang menyelubungi otak: menonton film, belanja, mendengarkan musik- musik menyenangkan, nongkrong dengan  teman-teman, curhat (oh yes). Dan ketika semua itu ternyata tidak cukup  membantu, saya curhat sama Tuhan. Ketika  iman sedang kendor, dan saya tidak berhasil berbincang  dengan Tuhan, saya mengurung diri seharian di kamar, memberi kesempatan kepada diri saya  bergalau-galau ria sepanjang hari sambil berjanji dalam hati bahwa besok saya sudah akan baik-baik saja.It's work.

Tapi terkadang, saya merindukan masa-masa itu. Ketika saya tenggelam dalam kontemplasi kontemplasi bodoh, lalu bersikutat sepanjang hari berusaha mendeskripsikan apa yang saya pikirkan saya rasakan dalam tulisan-tulisan yang sekalipun konyol, saya menyenanginya. Ketika sesekali menemukan tulisan seseorang yang terasa sangat personal tentang pergolakan pikiran dan perasaan yang dikemas dan sangat baik, saya tersentuh.

Lalu saya diingatkan kembali, sebenarnya kontemplasi-kontemplasi bodoh itu bukannya berjam-jam menghabiskan waktu hanya untuk menghasilkan rangkaian paragraf absurd, dari sana saya banyak belajar mengenal diri sendiri. Dalam prosesnya, saya harus berusaha keras untuk jujur terhadap diri sendiri. Momen yang tidak terlalu sering terjadi. Dan itu, dalam dosis tertentu, baik untuk proses pendewasaan  pikiran dan sikap.(apa deh fa). Jadi, saya mulai mencoba melakukan hal yang sama kembali, mengeksplorasi pikiran dan perasaan saya saat ini. Gagal. Rasanya tidak ada hal-hal krusial yang bisa menimbulkan krisis hebat di otak dan hati di kehidupan saya saat ini. Pergolakan-pergolakan yang muncul hanyalah pergolakan level cupu yang bisa diredakan hanya dengan tidur 10 jam.

Ada empat kemungkinan hal ini terjadi. Pertama, Tuhan sedang sangat sayang pada saya sehingga permasalahan-permasalahan hidup begitu dimudahkan. Kedua, saya mulai terperangkap dalam zona nyaman dimana saya hanya mengambil tanggung jawab-tanggung jawab dan keputusan yang tidak berisiko tinggi sehingga kehidupan saya baik-baik saja. Ketiga, saya mulai menjadi expert denial, menolak melihat permasalahan-permasalahan yang terhubung ke kehidupan saya dan memanipulasi pikiran agar saya selalu merasa bahwa saya baik-baik saja. Keempat, saya berhasil bertransformasi menjadi wanita dewasa anggun bijaksana baik hati rajin menabung dan tidak sombong yang tidak tergoyahkan dengan mudah oleh permasalahan-permasalah dalam hidup. Syukur jika yang terjadi adalah kemungkinan pertama. Untuk kemunginan keempat, saya cukup tahu diri untuk bilang itu tidak (belum) mungkin terjadi. Bagaimana kalo ternyata pilihannya adalah pilihan kedua, atau ketiga?euh. Kelaut aja neng, jadi dugong.