Kamis, 02 Juni 2011

Dieng Plateau (Part3- Peradaban Ribuan Tahun)

sisa peradaban ribuan tahun
berdiri kokoh tegak anggun
saat yang lain  lapuk oleh hujan
hancur tertimbun
diamuk alam atau dibinasakan peradaban lain

bagaimana bisa?
"masyarakat ku mulai belajar mencintaiku dan alam enggan padaku"



Konon Dieng adalah pusat spiritual dipulau Jawa zaman dahulu kala, pusat peradaban kerajaan Kalingga yang berkembang pada abad ke-8 masehi. Salah satu kerajaan Hindu terbesar di Indonesia .Sisa-sisa kejayaannya masih diwajantahkan oleh candi-candi batu kokoh nan cantik yang tersebar dibeberapa titik didaerah ini. Tidak terlalu banyak memang yang tersisa, sebagian besar diantaranya hancur karena musibah alam, tetapi dari apa yang masih tersisa saat inipun kita dapat membayangkan kejayaan macam apa yang dimiliki daerah ini dimasa lampaunya.

Dan saya ternyata salah paham, karena negara bekas kerajaan Hindu dan masih kuatnya kepercayaan masyarakat  terhadap benda,saya pikir masyarakat sekitar daerah sini masih penganut Ajaran Hindu, dan saat saya tanyakan kepada mas Rovik, dia tertawa

"wah, alhamdulillah, masyarakat sini mayoritasnya penganut Islam mbak"

Oh,stupid me.1200 tahun.bukan waktu yang sebentar untuk sebuah perubahan besar.

Tapi hari itu kami hanya mengunjungi 2 buah candi.candi Bima, dan candi Arjuna.

Candi Bima adalah candi tunggal yang terletak di pintu masuk kawah sikidang.Saya dan kakak mengunjungi candi ini sementara mas Rovik dan abang solat jumat. Jadi tidak terlalu banyak cerita sejarah yang saya dapat tentang candi ini.
Hanya mengamati relief-relief yang terpahat dibatu-batu tua itu.Dan setelah beberapa menit mengamati dengan konsentrasi penuh, berharap bisa mempelajari pengetahuan yang tergores dibatu-batu itu, saya putuskan percuma karena saya tidak mengerti sama sekali. akhirnya yang saya lakukan hanya menikmati keindahan arsitektur sicandi dengan background langit biru cerah,lalu mengambil beberapa foto.

Sayang sekali ada beberapa bekas coretan dan tulisan yang dibuat dengan cat di dinding-dinding candi. Sedihnya.

Begitu solat jumat selesai, mas Rovik kembali menemani kami.Perjalanan dilanjutkan menuju candi Arjuna.

Ada candi tunggal yang letaknya berdekatan dengan komplek candi Arjuna, yaitu candi Gatot Kaca, tetapi kami tidak mengunjunginya.

Kami langsung menuju kompleks candi arjuna, mas rovik mungkin sedikit lelah, dan memutuskan menunggu dihalaman parkir sementara kami mengelilingi kompleks candi arjuna.

sedikit sayang, karena akhirnya lagi-lagi yang bisa saya lakukan hanya menikmati arsitektur dan view candi yang dilatarbelakangi barisan pegunungan di dieng.

Kompleks ini sangat terawat.Untuk menuju kekompleks ada jalan kecil untuk berjalan kaki yang dibangun dari paving blok, dikanan kirinya ditanami bunga-bunga cantik dan ada beberapa papan himbauan untuk merawat candi.Dikompleks ini terdapat 4 candi yang tersusun rapi dalam satu garis lurus.Simpel, tapi menarik.

Saat berkeliling, secara kebetulan saya berdiri si suatu titik dimana saya bisa melihat 2 candi dan diantara 2 buah candi itu terlihat mesjid dikejauhan. Pemandangan ini membuat saya tersenyum, ah, objek foto yang sangat menarik.sayang sekali saya tidak membawa kamera dengan kapasitas yang cukup bagus untuk mengabadikan pemandangan ini.

Sedikit pengetahuan tentang peradaban dahulu berkembang didaerah ini saya dapat di museum Dieng Kailasa, seorang petugas menemani kami berkeliling dan memberi penjelasan.

Isi museum ini seperti arca-arca dewa-dewi, patung,dan prasasti yang diyakini sebagai sisa peradaban kalingga. Ada juga beberapa dokumentasi keadaan kehidupan masyarakat dieng saat ini berupa artikel , foto, dan beberapa display lainnya.Museum ini juga memiliki ruang teater.Kami sempat menonton film pendek durasi 8 menit berupa dokumentasi daerah dieng.Dari film tersebut saya mengetahui bahwa bentuk candi tunggal yang simpel adalah ciri khas dari arsitektur yang sedang berkembang di india pada tahun yang berdekatan dengan berdirinya kerajaan kalingga.

Mas yang menemani kami bercerita kalau bangunan museum ini baru didirikan tahun 2008.Dulu, sebelum bangunan ini didirikan, arca-arca dihalaman, dan seringkali terjadi upaya pencurian.

Melihat museum dengan dokumentasi yang rapi yang memiliki ruang teater, masyarakat yang ramah, dan beberapa hal lain yang saya amati membuat saya menarik kesimpulan konsep pariwisata daerah sini cukup terstruktur dan rapi.

Dari museum kami istirahat sebentar mencari makan siang.

Sambil makan, mas Rovik bercerita beberapa hal tentang sisa-sisa peninggalan itu.
Banyak sekali kasus-kasus pencurian tetapi untuk sekarang  penindakan hukumnya sudah sangat tegas. Ada seorang warga yang harus dipenjara selama 35 tahun karena ketahuan menjual sebuah arca seharga 50 juta ke seorang warga belanda.

"untuk warga yang menemukan arca dapat imbalan ga mas?" iseng saya bertanya.

"enggak, makanya warga kalau menemukan benda-benda peninggalan kadang suka menimbun kembali ketanah" jawab mas rovik

oh.

walaupun tidak banyak mengerti tentang pengetahuan apa yang terkandung didalam peninggalan-peninggalan sejarah ribuan tahun itu,
ketika berdiri didepan candi-candi itu, menyentuhnya dan memperhatikan tiap ukiran yang dipahatkan , tanpa sadar muncul rasa kagum saya akan kehidupan 1200 tahun silam yang buktinya masih berdiri kokoh saat ini.1200 tahun lalu ketika teknologi-teknologi canggih belum berkembang, mereka sudah berhasil menemukan teknik membuat bangunan yang bisa bertahan ribuan tahun.
Saya membayangkan sebuah peradaban dengan kebudayaannya yang tumbuh, berkembang, mencapai kejayaannya, lalu punah entah oleh amukan alam atau karena serangan dari manusia lain, lalu muncul lagi dengan peradaban baru, tetapi sisa peradaban itu masih berdiri mengingatkan kita tentang betapa dunia sudah berkembang dari ribuan tahun lalu dan terus akan berubah kedepan.

Saya tidak pernah tinggal di kampung asal leluhur saya, tidak begitu banyak tau tentang sejarah leluhur. Beberapa kali pindah rumah dan pindah daerah, saya dibesarkan dalam keluarga yang terlepas dari ikatan adat dan tidak banyak terpengaruh oleh struktur dan aturan masyarakat,mungkin karena itu saya tidak memiliki ikatan rasa yang terlalu kuat terhadap adat atau garis keturunan kecuali keluarga inti saya,atau sebuah daerah.

Karenanya saya menyimpan kekaguman terhadap masyarakat dengan keterikatan yang kuat dengan masa lampau dan kesadaran yang tinggi untuk mempertahankan keaslian daerahnya, seperti masyarakat daerah dieng ini.

"mas, emang ga ada villa yah didaerah sini?"dan saya bertanya lagi.

"oh, enggak, udah beberapa kali ada yang minta izin bangun villa, tapi ga dikasih izin, takutnya bawa pengaruh buruk"

satu pandangan positif lagi.

ah,saya tertarik sekali.Banyak hal menarik tentang daerah sini dan masyarakatnya.
Peradaban ribuan tahun tidak mungkin bisa benar-benar dikenali hanya dengan satu hari berada disana.Jadi saya membuat janji dengan diri saya untuk kembali lagi kesana untuk jangka waktu yang lebih lama.

~bersambung

Dieng Plateau (Part 2-Hidden Paradise)

Perjalanan kali ini saya bersama 2 orang kakak saya.Setelah sebelumnya menjadi turis di Jogjakarta,kami menggunakan travel seharga 45ribu/orang menuju kota Wonosobo. Dari wonosobo ada semacam elf kecil yang menuju Dieng tetapi hanya beroperasi sampai sore.Karena kami baru sampai dikota wonosobo pukul 10 malam kami mencari penginapan di Wonosobo (Hotel petra dekat alun-alun kota, biaya penginapan 180K untuk kamar kapasitas 3 orang, dengan air panas dan TV) .Kami baru berangkat menuju Dieng pukul 8 pagi keesokan harinya,  yang sayang sekali karena kami melewatkan kesempatan melihat sunrise Dieng yang katanya bagus. Sekitar pukul 10 kami sampai di Dieng Kami membayar 20 ribu bertiga untuk biaya transportasi (Kayaknya kemahalan, karena info yang saya dapat biasanya biaya transportasinya 4-5 ribu/orang).

Turun dari Bis masih sedikit mengantuk dan disambut udara sejuk sepoi sepoi .Jelas apa yang sangat kami butuhkan saat ini, Kopi.hehe.

Dan  untuk 3 kelas kopi dan semangkuk mie ayam+bakso, kami cuma membayar 10k- wew, murah sekali ya ampun.

Informasi tentang  transportasi kami dapatkan di sebuah kantor pusat Informasi di seberang jalan warung bakso. (Saya lupa nama kantornya, tetapi posisinya persis di pertigaan jalan).
Disini kami ditawarkan motor dan jasa guide yang mengantarkan mengitari daerah dieng.Biaya yang ditawarkan 50 ribu/motor diluar biaya bensin  dan guide 50 ribu/hari.Karena harganya standar, kami langsung sepakat tanpa menawar dan memulai perjalanan mengitari daerah dieng dengan menyewa 2 motor dan seorang mas2 guide yang memperkenalkan diri sebagai mas Rovik.

Tujuan pertama kami adalah telaga warna.

Telaga warna adalah sebuah danau sulfur yang terbentuk dari kawah yang mati. Disebut telaga warna karena sering memunculkan warna merah, hijau, biru, dan putih, tergantung cuaca.Dari sini pemandangannya indah sekali.

Di dekat telaga warna ada goa jaran,goa sumur dan goa semar.

Goa semar dipagari kunci gembok. Karena dikeramatkan oleh warga setempat, jadi hanya orang tertentu yang boleh masuk, biasanya untuk meditasi.

Katanya  almarhum mantan presiden soeharto yang penganut Islam Kejawen dahulu sering meditasi di goa ini. Tokoh publik lain yang pernah bermeditasi di goa ini yaitu Mantan Presiden Megawati dan Artis Mayang Sari (??biar tambah cantikkah??).Kalau para tokoh-tokoh ini sedang bermeditasi, pengawasan goa jadi super ketat.

Di telaga warna ada sebuah batu yang dikenal dengan sebutan Batu tertulis, katanya jika kita menulis dengan sepenuh hati dibatu ini, permintaannya bisa cepat terkabul seperti perantara antara manusia dengan Gusti Allah.
Untuk ini saya cuma menanggapinya dengan  tersenyum, tanpa ingin mencoba.Saya percaya  hubungan Tuhan-manusia adalah hubungan personal  tanpa membutuhkan perantara atau simbolisasi, kepercayaan seperti itu seperti asimilasi antara  kebudayaan animisme dengan kebudayaan Islam.Tapi saya menghargai orang masing-masing dengan kepercayaannya.

Mas Rovik juga cukup mengerti ketika tidak seorang pun dari kami  menuliskan permintaan di batu,

"ya balik kepada masing-masing percaya atau enggak, saya termasuk orang yang masih percaya"sambil tersenyum.

Mas rovik bercerita banyak sekali selama kami ditelaga ini.

Salah satunya tentang musibah erupsi sebuah kawah didaerah Dieng yang menewaskan ratusan orang.Kekayaan alam sekaligus ancaman diam-diam terhadap kehidupan masyarakat.Karenanya sekarang, ada beberapa kawasan yang tidak boleh dijadikan pemukiman.

Penebangan pohon tanpa izin merupakan tindak kriminal berat di dieng, akan ditindak tegas.

Lalu ada lagi cerita tentang anak-anak berambut gimbal.Saya pernah mendengar tentang ini dari tulisan salah seorang teman.Jadi ada beberapa orang anak yang secara misterius tumbuh rambut gimbal dikepalanya pada usia tertentu, biasanya anak perempuan. Rambut gimbal ini tumbuh beberapa kali dan tiap kali tumbuh akan menyebabkan si anak sakit panas. Tiap tahun, ada sebuah upacara untuk pemotongan rambut gimbal ini. Tapi untuk memotong rambut harus dari keinginan si anak, karena jika tidak maka rambut gimbal akan tumbuh lagi dengan disertai rasa sakit yang lebih dari sebelumnya.Rambut gimbal yang telah dipotong biasanya dibuang melalui upacara ditelaga warna.

Dari telaga warna kami melanjutkan perjalanan ke kawah sikidang dengan membayar biaya retribusi 6k/orang.

Kawah sikidang berupa area kawah aktif . Dari jauh terlihat uap sulfur mengepul keatas dari banyak sumber. Bau belerangnya tercium kuat sekali bahkan dari tempat parkir.Tetapi kawah ini masih aman untuk didekati karena uap sulfur yang keluar langsung bercampur dengan udara terbuka sehingga kosentrasi sulfur tidak sampai pada tahap membahayakan.Berjalan sedikit kearah atas kita dapat melihat kolam sulfur aktif dengan diameter +/- 3 meter dengan lumpur sulfur yang mendidih.Sulfur, dan panas, tampak seram dan berbahaya sekali.Disekeliling kolam diberi pagar kayu agar pengunjung tidak berada terlalu dekat dengan kolam sulfur.

Pertanyaan saya yang pertama muncul
"ada yang pernah mati disini ga mas?"

"wah, ada mbak.beberapa kali.tapi biasanya memang niatnya bunuh diri.Pernah dulu ada 2 orang yang  pacaran bunuh diri disini karena hubungannya ga direstui orang tua."

waduh.tragis sekali.

Dari kawah sikidang mas rovik dan abang menuju mesjid sementara saya dan kakak kembali berkeliling sembari menunggu solat jumat selesai. 

Dieng Plateau (Part 1-Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama)

Ada beberapa kota yang membuat saya jatuh hati padanya hanya dalam beberapa jam saya menginjakkan kaki ditanahnya.Atmosfer udaranya terasa akrab dan menghadirkan rasa nyaman, dan kota-kota ini membuat saya ingin untuk kembali kesana lain waktu.

Malang untuk udara yang sejuk seperti bandung tetapi dengan versi yang lebih rapi tanpa macet, Bali untuk mataharinya dan untuk tiap aspek kehidupannya yang dihiasi seni dan aroma liburan yang terasa dimana-mana,dan jogja untuk keramahan penduduknya dan gaya hidup sederhana yang menyenangkan. Dan satu lagi kota masuk dalam daftar saya, saat ini Dataran Tinggi Dieng.

dan yap, hanya dalam satu jam saya berada di daerah ini. saya langsung memutuskan,saya jatuh hati!

Referensi tentang daerah ini pertama kali saya dapatkan ketika turun dari gunung sindoro yang berada dikota wonosobo,kota yang berjarak 46 km dari Dieng. Sang penjaga gunung menanyakan tujuan kami selanjutnya lalu menawarkan perjalanan ke Dieng , sayang waktu itu kami terburu waktu. Dan promosi sang penjaga gunung membuat saya mencatat dieng sebagai tempat yang harus saya kunjungi suatu saat nanti.Beberapa waktu belakangan juga ada rekan yang sedang gencar mempromosikan Dieng sebagai salah satu tempat wisata, promosi yang menarik dan membuat saya semakin ingin ke sana.
Dan akhirnya saya mengunjungi tanah Dieng pada tanggal 26 Mei kemarin  (finally).

Point positif pertama yang muncul:

Udara yang sejuk dan tentu saja seperti kebanyakan daerah wisata di  Indonesia, like we all know,bentangan alam yang indah.

Dieng adalah dataran dengan rata-rata ketinggian 2000 mdpl. Suhu berkisar 15—20 °C di siang hari dan 10 °C di malam hari. Kalo musim kemarau (biasanya juli dan agustus), suhu udara pagi bahkan dapat mencapai  0 °C di pagi hari. Dieng merupakan kawasan vulkanik aktif. Kawah tersebar di banyak titik, dan sebagian besar diantaranya adalah kawah aktif.Potensi ini dimanfaatkan oleh pertamina untuk membuat pembangkit listrik tenaga panas bumi.
Selain dari pariwisata, mata pencaharian masyarakat daerah sini adalah bertani dengan hasil utamanya adalah kentang.Saat mengelilingi kota dieng, kita bisa melihat pertanian kentang dimana-mana.

Saya hanya menghabiskan sehari didaerah ini,bukan waktu yang lama, tetapi  cerita-cerita disampaikan oleh guide kami selama menemani perjalanan dan berinteraksi dengan masyarakat  walaupun tidak banyak, dan kesimpulan yang akan saya sampaikan ketika bercerita pada orang lain :

Masyarakat yang menjaga orisinalitas, arif terhadap lingkungan dan warisan budayanya, menjaga orisinalitas, dan teramat ramah terhadap orang asing. Dan walaupun daerah ini merupakan daerah wisata ,tetapi tidak komersil terhadap pengunjungnya. Harga-harga makanan, penginapan,  transportasi, dan akomodasi atau jasa lain tidak "tourist minded" seperti kebanyakan daerah wisata, menyenangkan sekali.

Perpaduan antara udara yang sejuk, bentangan alam yang unik, dan warisan budaya ribuan tahun.