Senin, 14 November 2011

Menuliskan Tulisan

Ada salah satu materi pada pertemuan kuliah jurnalistik beberapa saat yang lalu yang menarik perhatian saya.Pada pertemuan tersebut, sang dosen mereview ingatan mahasiswanya tentang pelajaran sosiologi SMA terkait konteks kuliah yang dia ajarkan, tentang klasifikasi masyarakat berdasarkan budaya komunikasi.
 
Si dosen menjelaskan bahwa dalam cara berkomunikasi (terkait kepenulisan,konteks kuliah yang diajarkannya) masyarakat digolongkan menjadi 2 yaitu masyarakat lisan, dan masyarakat tulisan.
Yang tipe dengan ciri-ciri berikut digolongkan sebagai masyarakat lisan,
  • Berinteraksi dengan mulut, mata, dan hidung.lebih cenderung menyatakan pendapat dengan lisan
  • Kolektif, cenderung ramah, bergotong royong
  • Intuitif, emosional,tidak tahan kritik
  • Tokoh lebih penting daripada pokok (paternalistik)
Sementara yang tipe dengan ciri-ciri dibawah digolongkan sebagai masyarakat tulis,
  • Teks menjadi pusat. lebih cenderung menyatakan pendapat dengan tulisan
  • Cenderung individualis
  • Lebih objektif, klarifikasi pada sumber tekstual, dan lebih tahan kritik
  • Pokok lebih penting daripada tokoh (egaliter)
Dalam perkembangan zaman, masyarakat lisan membentuk satu tipe golongan lagi :tipe masyarakat lisan tingkat kedua.

Yang seperti apa?

Yaitu tipe masyarakat lisan yang mulai menggunakan teknologi dalam berkomunikasi.Pada masyarakat inilah fesbuk dan teman-temannya tumbuh dan berkembang biak dengan cepat.Fitur-fitur di social network untuk memberikan komen-komen pendek dan membentuk forum-forum perbincangan sangat mendukung budaya seperti ini. Tidak bisa dimasukkan pada masyarakat tulis karena meskipun berkomunikasi dengan tulisan, karena tulisannya lebih tepat disebut sebagai "bahasa lisan yang dituliskan".

Terdengar familiar?

Sang dosen lalu mengajak kami menganalisa tipe masyarakat di Indonesia.Ga perlu pakai analisa mendalam buat jawabannya.Selanjutnya secara tak langsung, si Bapak mengajukan pertanyaan berikut:
"Apakah ada tipe masyarakat yang dianggap lebih baik daripada tipe lainnya?"
(Nah lo,Bingung mau jawab apa)

Satu pandangan singkat melintas dalam pikiran saya.

Kalo buat saya, meskipun Indonesia "kurang" dalam beberapa bidang, dibanding masyarakat-masyarakat dengan budaya menulis, tapi memang dapat dijadikan parameter untuk menyebut kita tidak lebih baik daripada mereka?Waduh, saya ga rela deh kalo ada yang menganggap masyarakat Indonesia dianggap lebih buruk daripada bangsa lain.Karena meskipun saya golongan orang yang mengacu pada peradaban barat sana dalam banyak hal, saya cinta Indonesia secinta-cintanya.Tapi memang, ada beberapa "kebiasaan kurang bagus yang kemudian menjadi budaya" dan itu bukan hal bagus dan harus diubah jika ingin jadi lebih baik.

Si bapak tidak meminta mahasiswanya menyatakan pendapat mereka secara gamblang, tapi saya pikir secara implisit si bapak mengajak mahasiswanya untuk belajar mengkritisi kelebihan dan kekurangan budaya sendiri dan mengambil sikap terkait pendapat mereka sendiri. Semacam PR yang tidak akan pernah dinilai selain oleh diri sendiri.

Tujuan sederhana si dosen untuk diskusi ini sebenarnya hanya untuk megembangkan budaya dan keinginan untuk menulis dikalangan mahasiswanya.Cita-cita idealnya, mengubah kebudayaan masyarakat ini menuju budaya tulis dibanding sekedar lisan, tapi dengan tetap mempertahankan nilai-nilai bagus kebudayaan masyarakat lisan.Juga mengajak untuk lebih berfikir dinamis, berpikiran terbuka dan tidak mengkotak-kotakkan segala sesuatu.Beliau memulainya dengan berbagi pandangan dengan mahasiswanya.

Dan karena saya berada dalam satu koridor yang sama dengan si Bapak, saya mencoba untuk menyampaikan kembali idenya dalam tulisan dengan kalimat yang berbeda.Selain untuk mengingatkan diri saya sendiri saja.

Tidak ada komentar: