Senin, 20 Juni 2011

Baduy (2) - Budaya dan perubahan

Lojor heunteu beunang dipotong
pèndèk heunteu beunang disambung
 (Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)

Kalimat diatas peribahasa Baduy, maknanya kira-kira hidup sederhana,apa adanya.tanpa memberikan perubahan apapun atau sesedikit mungkin terhadap alam.Itu falsafah hidup dari adat Baduy.

Dibaduy dalam yang lebih ketat dalam menganut adat, semua orang menggunakan pakaian seragam berupa kain berwarna putih tanpa hiasan.Untuk wanita, beberapa menggunakan gelang-gelang yang terbuat dari manik-manik sederhana.Mereka tidak menggunakan alas kaki, dan tidak boleh menggunakan alat kendaraan untuk transportasi, dan tidak boleh menggunakan benda-benda berteknologi.

Sekitar pukul lima kami sampai didesa Cibeo. Desa ini diikelilingi oleh sungai dangkal yang jernih.Untuk penghubung ke desa berupa jembatan bambu yang merupakan khas baduy. Desanya cukup besar, kata Juli ada sekitar 80-an rumah disini.Rumah-rumahnya berdekatan,dengan arsitektur yang hampir sama : rumah panggung berbentuk persegi yang dibuat dari anyaman bambu dan atap dari rumbia. Semua pintu menghadap utara, atau selatan.Dikolong rumah atau diatap-atap ada ikatan-ikatan kayu bakar.Rumah ini tidak menggunakan paku.Untuk memasak, mereka menggunakan tungku tanah liat didalam rumah yang menggunakan bahan bakar kayu (Bahkan semua komponen rumah ini benda yang mudah terbakar).Dan rumah hanya terdiri atas 2 ruangan. Penerangan pada malam hari dengan lampu yang menggunakan bahan bakar getah.

Pendatang yang ingin datang berkunjung biasanya harus membawa bahan makanan sendiri yang kemudian dibantu dimasakkan oleh empu rumah.Kami cuma membawa beras,mie, dan ikan asin yang dibeli di desa ciboleger.Bahan-bahan ini dibantu masak oleh istri Juli.Juli menyediakan empat mangkok porselen untuk wadah makan kami (yang sepertinya memang hanya digunakan untuk tamu), untuk minum kami menggunakan bambu yang dipotong pendek sehingga berbentuk seperti gelas.Juli menolak ketika kami menawari makan bersama.Sambil makan saya sempat melihat keruangan sebelah istri Juli mengeluarkan sebuah bungkusan dari daun pisang yang berisi nasi yang cukup besar, dan kemudian mereka makan bersama. Mungkin itu semacam kebiasaan.

Sewaktu membantu istri Juli memasak makan malam, saya melihat anak-anak Juli mencemil mie instant dan beberapa snack-snack kecil lain.Apakah konsumsi makanan modern termasuk dalam aturan adat Baduy?ataukah itu bentuk dari perubahan yang diam-diam datang tanpa disadari?

Tetapi Juli tidak mengkonsumsi kopi instant yang kami buat,dan dia menyuruh kami membawa kembali Gula dan Teh yang semula kami  rencanakan untuk ditinggalkan dirumah Juli. Juli bisa berbahasa Indonesia, tetapi tidak begitu lancar, juga Istrinya. dan ini membuat kami kesulitan berkomunikasi dengan keluarga Juli. Beberapa kali sering terjadi salah paham ketika kami menyampaikan atau bertanya sesuatu dalam bahasa Indonesia kepada Juli, dan tidak ada satupun diantara kami yang bisa berbahasa Sunda-Banten.Dan akhirnya, tidak banyak percakapan yang bisa kami lakukan dengan Juli. Jam 8 malam desa Cibeo sudah sepi sekali.

Dan, tantangan buat anda para yang suka tidur larut malam, sudah harus beristirahat jam 9 malam dan tidak bisa melakukan apa-apa lagi hingga matahari terbit besok hari. (Haha, yang ini benar-benar  menyiksa.Saya terbangun berkali-kali, tidak bisa tidur lagi, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa selain menunggu matahari terbit).Cukup dingin disini pada malam hari, jadi jangan lupa membawa jaket dan sleeping bag.

Besok paginya kami memutari desa Cibeo tanpa ditemani Juli. Istri Juli berangkat keladang dari pagi.Kami melihat sebuah area yang penuh dengan lumbung.Pintu-pintu lumbung ditaruh dibagian atas dekat keatap, mungkin untuk menghindari binatang masuk kelumbung.Untuk masuk kelumbung harus menggunakan tangga.Lalu kami beristirahat dipinggir jalan yang sepertinya menuju ke ladang. Beberapa kali berpapasan dengan wanita yang mau ke ladang. (Sepertinya disini yang berladang memang wanita)

Kami berjalan kaki kembali kedesa Kanekes jam 2 siang dengan jalur yang berbeda dengan jalur berangkat.Yang ini tracknya lebih bersahabat. lebih banyak turunannya.Pada jalur balik ini, kami melewati beberapa desa Baduy Luar.

Semakin menjauhi desa cibeo, pengaruh dunia luar semakin terasa. Rumah-rumah sudah menggunakan paku dan cat.Kami sempat melihat sekelompok orang yang sedang membangun rumah, dan mereka menggunakan amplas untuk menghaluskan kayu.Potongan-potongan kayu rumahnya pun sudah lebih halus.Penduduk pun sudah mulai menggunakan pakaian dengan potongan modern.Bahkan pada salah satu desa tempat kami beristirahat (sudah cukup jauh dari Cibeo), kami menjumpai penjual es Cingcau

Perempuan Baduy luar menenun. Dan biasanya hasil tenunan mereka ini dijual. Disepanjang desa baduy luar yang kami lewati, kami melihat pemandangan perempuan-perempuan menenun dan memintal benang.Mereka biasanya menggunakan kemben/kaos tank top, dan kain.

Kami sampai didesa Kanekes sekitar pukul 5, lalu Juli menginapkan kami dirumah kakak Iparnya di Kanekes.Rumah ini sudah lebih modern, sudah memiliki sekat-sekat, pintu dengan selot kunci, bantal, dan peralatan makan modern.

Desa Ciboleger dan Desa Kanekes berbatasan langsung. Hanya sebuah gapura yang memberikan tanda  batas antara dunia Baduy dengan dunia luar (mereka menyebut daerah selain Baduy seperti itu). Menarik sekali melihat daerah perbatasan ini, diciboleger sudah ada listrik dan rumah-rumah terbuat dari Beton, sementara kanekes yang persis disebelahnya masih masih menggunakan lampu minyak tanah dan rumah yang terbuat dari anyaman bambu.

Kami turun sebentar ke desa ciboleger untuk makan, mengajak serta Juli.Dipinggir jalan yang sudah termasuk daerah ciboleger, saya melihat beberapa kerumunan dirumah-rumah/ warung dan sebagian besar adalah Baduy.Saat dilihat lebih dekat, ternyata mereka sedang berkerumun menonton siaran televisi.Lalu saya tidak mendapati Juli didekat saya,dan ternyata dia sedang ikut menonton dikerumunan, Terlihat sedikit tersipu malu ketika saya menegurnya dan mengajaknya meneruskan jalan menuju tempat makan.
 Ah, teknologi.

 Saya memberikan rasa kagum saya kepada mereka, orang-orang Baduy, terutama baduy dalam yang memilih jalan hidup seperti itu dan berjuang mempertahankan adatnya.Sekaligus ada semacam rasa takut dan sangsi. Sampai kapan mereka sanggup menjaga peradaban mereka dari pengaruh teknologi? Apakah mereka menjaga diri dari pengaruh modernitas karena kesadaran mereka untuk memelihara adat atau hanya karena ketakutan mereka untuk melanggar adat dan mereka tidak bisa keluar dari struktur masyarakat mereka?

Is really No Change on their culture at all?

Pemandangan sekelompok orang Baduy yang berkerumun menonton sinetron dari televisi dirumah warga itu memicu pertanyaan retoris dalam otak saya. Tapi saya baru 2 hari disini, saya rasa saya belum bisa memberikan penilaian tentang seberapa kuat adat masyarakat hanya dalam 2 hari ini.

Penduduk Baduy luar sudah lebih terbuka dan lebih bisa berkomunikasi dengan orang asing.Empu rumah tempat kami menginap malam hari itu menemani kami diruang tengah dan berbincang tentang banyak hal hingga larut malam.Lalu saya tahu bahwa si Bapak yang empu rumah dahulu adalah warga Baduy dalam.Dan hingga sekarang seluruh keluarganya masih bermukim di Cibeo, hanya dia yang tinggal diBaduy luar.

Ternyata tidak ada larangan secara adat bagi penduduk Baduy dalam untuk keluar, tetapi jika mereka sudah memutuskan keluar, mereka sudah tidak boleh lagi tinggal didalam, kecuali hanya untuk menginap.Alasan si bapak untuk keluar dari baduy dalam waktu itu adalah karena dia merasa tidak ada yang salah dengan kemajuan.Selama tidak melanggar adar-adat dasar dan tidak merusak alam.Dan si bapak keluar dari baduy dalam atas dasar keinginan dan kesadaran sendiri, dia memilih jalan hidup sendiri.Dan beliau mengerti konsekuensi dari pilihan tersebut.

Dari si Bapak juga saya tahu, bahwa baduy penganut ajaran sunda wiwitan. Mereka percaya kepada nabi Adam.Dan mereka percaya mereka memiliki tugas menjaga keharmonisan alam, bahwa wilayah Baduy adalah wilayah yang merupakan penyangga keseimbangan alam. Jika wilayah ini rusak dan banyak tercemar, maka akan terjadi banyak bencana alam di tanah jawa.

Masih banyak lagi obrolan malam itu dengan si bapak.dan untunglah kami tidak harus tersiksa sepeti semalam karena tidur jam 9. Kami kembali balik ke Rangkas Bitung pagi esok harinya.Jam 8 dari ciboleger, dan karena tidak terlalu banyak ngetem sampai distasiun pukul setengah sepuluh.Kereta mendapatkan tiket kereta jakarta pukul 10, dan sampai dijakarta sekitar pukul 12.
  
I think it's a worth trip.

Saya mendapatkan sedikit pengetahuan tentang sebuah komunitas dengan dinamika yang menarik dan memiliki kebajikan hidup yang layak mendapat penghormatan.

Tidak ada komentar: