Kamis, 23 Agustus 2012

Journey to the northeast (3-cerita dari perbatasan).

Kalau kita berdiri diperbatasan timur Sebatik, maka kita dapat melihat kota Tawau Malaysia. Dari kejauahan dapat terlihat kota Tawau yang ramai dengan gedung-gedung tingginya. Perbandingan yang miris dengan jika dibandingkan dengan keadaan dipulau Sebatik dengan fasilitas yang masih pas-pasan.

Otomatis otak si saya mengaitkan keadaan ini dengan isu mengenai perbatasan pulau  sebatik yang memanas beberapa tahun belakangan.

Di Sebatik, Hampir semua hasil bumi penduduk dijual kedaerah tawau dalam bentuk  mentah. Harga jual barang-barang mentah ini lebih tinggi dan biaya operasionalnya pun lebih rendah jika harus dijual ke pedagang Indonesia, karenanya penduduk Sebatik lebih senang menjual ke daerah Tawau. Apalagi karena didaerah perbatasan aturan perdagangan yang berlaku yaitu hukum perdagangan perbatasan, jadi mereka tidak terlalu ribet dengan birokrasi eksport-import. Bahan mentah yang dijualbelikan dikepulauan Sebatik sendiri biasanya adalah barang-barang yang ditolak di kota Tawau karena kualitas rendah.  
Untuk belanja kebutuhan sehari-haripun, ternyata masyarakat lebih senang berbelanja ke kota tawau. Dengan membayar hanya 100k untuk melintasi perbatasan, mereka dapat berhari-hari di Tawau dan berbelanja kebutuhan dengan harga yang lebih murah jika mereka belanja ke Tarakan atau Nunukan misalnya.Dan jarak transportasi juga lebih dekat.

Beberapa fakta lain seperti, berlakunya mata uang Ringgit di pulau ini, ato tenaga kerja dari sebatik yang digunakan di Tawau tanpa aturan ketengakerjaan antarnegara, dari satu sudut pandang terlihat menganggu integritas bangsa.  

Tapi dari sudut pandang berbeda, dari beberapa golongan penduduk, isu perbatasan ini dianggap terlalu dilebih-lebihkan oleh media, pemerintah dipusat ribut sendiri sementara keadaan dipulau mereka menurut mereka masih kondusif. Keadaan ini dianggap bentuk simbiosis mutualisme.
Keadaan yang terasa aneh juga ketika saya memasuki kota Nunukan. Ternyata pembangunan di pulau Nunukan sudah jauh lebih maju daripada di pulau Sebatik, walaupun tidak semegah kota Tawau,  jalan-jalannya lebar dan bagus, dan gedung-gedung pemerintahannya pun cukup besar. Pusat kotanya ramai, banyak penginapan-penginapan mewah di sini. Perbandingan yang tidak adil dengan keadaan di pulau Sebatik. Sama-sama pulau perbatasan tetapi dengan keadaan yang jauh bserbeda. Padahal antara Nunukan dan pulau Sebatik hanya berjarak 15 menit penyebrangan.

Dengan perbandingan-perbandingan seperti ini, cara pandang beberapa golongan warga tadi jadi terlihat logis, dengan perhatian dan fasilitas minim yang diberikan dari pemerintah kabupaten Nunukan ataupun pemerintah pusat, ya wajar-wajar saja warga lebih memihak pada keadaan yang mereka anggap lebih menguntungkan bagi mereka saat ini. 
Saya kemudian malu karena saya tidak aware dengan permsasalahan ini hingga saya berada disini. Saya tidak benar-benar mengerti negara saya sendiri. Pelajaran terbesar yang saya dapat dari perjalanan ke timur selatan ini, bahwa kita harus terus-terusan memperluas wawasan kita tentang Indonesia. Indonesia itu kaya sekali, benar-benar kaya, tapi jika kita bahkan tidak benar-benar tau apa saja yang sebenarnya kita miliki, lalu bagaimana kita akan menjaganya? Jadi jangan sekedar mengutuk-ngutuk negara tetangga maling, tanpa menyadari bahwa kita tidak benar-benar menjaga apa yang kita miliki.

Tidak ada komentar: